Sesat Pikir PSN Reklamasi Pesisir Surabaya

Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang telah disahkan di 28 Provinsi menggambarkan arah dan orientasi pembangunan sektor kelautan serta perikanan yang belum memberikan alokasi ruang yang adil bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil dan tradisional. Hal ini menjadi tantangan besar dalam mendorong politik pengakuan negara terhadap tenurial dan keberadaan ruang hidup masyarakat pesisir khususnya nelayan yang memiliki kontribusi besar dalam membangun ekonomi dan ketahanan pangan di sektor kelautan dan perikanan bangsa Indonesia

Misbahul Munir, Ketua Bidang Advokasi dan Perlindungan Nelayan DPP KNTI menegaskan, bahwa luasnya proyek reklamas dii dalam RZWP3K juga menggambarkan betapa penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana dimandatkan di dalam UUD 1945 Pasal 33, telah melenceng jauh menjadi praktik privatisasi ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil diserahkan ke pihak korporasi swasta.

Di surabaya, proyek Kawasan Pesisir Terpadu Surabaya Waterfront Land (SWL) di pesisir Surabaya statusnya sudah menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan PT. Granting Jaya (Ken Park) sebagai pihak pengembang yang mendapatkan izin dari presiden RI untuk mengelola dan melaksanakan kegiatan reklamasi di pantai timur Surabaya dengan luas 1085 ha untuk membangun pulau A, B, C dan D, di zona kawasan konservasi kota surabaya.
“Saat ini kawasan pesisir Surabaya digadang-gadang menjadi Kawasan pesisir terpadu Surabaya dengan mengadopsi reklamasi di teluk jakarta.” Ungkap Munir

Dalam catatan Walhi Nasional setidaknya RZWP3K Provinsi Jawa Timur menempati urutan ketiga terluas sebaran alokasi reklamasi dengan luas 213.562.00 Ha, setelah Provinsi Kalimantan barat, Kalimantan Timur, lalu disisil susul Provinsi Jawa timur. Sementara untuk luasan alokasi penambangan pasir laut, provinsi Jawa timur di posisi kedua dengan luas 17.175.00 Ha setelah Sulawesi Selatan dengan luas 26.168.85 Ha.

“Setidaknya 12 Kampung Nelayan Surabaya yang terdiri kurang lebih 4 ribu KK keluarga nelayan akan terdampak dari proyek ini, daerah ini meliputi Nambangan, Cumpat, Kejawan, Kenjeran, Sukolilo, Larangan, Kalisari, Keputih, Tambak wedi, Bandarejo, Tinjang, dan Wonorejo. Termasuk di dalamnya Jenis mata pencaharian nelayan seperti pertorosan/Tadah arus (Rebon, udang, teri dll), Nelayan Jaring (Banton, udang, bulu ayam, rajungan, gebangan, belanak dll), nelayan Pancing (Rawe Pari, Rawe keting, Kakap), nelayan Pencari Kerang dan tripang (Selam, serok, garit, pancalan dll), Nelayan Cager atau wuwu (ikan campur), Nelayan Sathak, udang dll, dan Sonder (Belanak)” akan hilang dan menjadi daratan. Sehingga berdampak juga pada hilangnya pendapatan kelompok-kelompok rentan seperti buruh perempuan dan pengolah ikan . Ini yang seharusnya di pikrkan juga oleh wali kkta surabaya” .Pungkas Munir.

KNTI berpandangan, jika politik ruang pesisir dan laut selalu mengedepankan investasi skala besar , maka yang terjadi adalah praktik-praktik penindasan dan perampasan ruang hidup nelayan oleh negara melalui korporasi. Sehingga secara konstitusi negara abai dalam melindungi nelayan tradisional yang secara turun temurun mengelola ruang hidupnya ‘Tegas Munir “.

Scroll to Top