Diseminasi Hasil Riset Kolaborasi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)

Kenaikan Harga BBM Menurunkan Kesejahteraan Nelayan Kecil dan Tradisional

Jakarta, 19 Desember 2022. Riset CORE Indonesia dan KNTI yang bertajuk “Mengurai Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Kelompok Masyarakat Rentan” yang dipublikasikan pada 19 Desember 2022 menemukan, bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi pada 3 September 2022 lalu selain berdampak pada perekonomian domestik, berupa lonjakan inflasi, hal tersebut juga memberi tekanan yang besar pada rumah tangga yang banyak mengkonsumsi BBM, salah satunya nelayan kecil dan tradisional.

Nelayan kecil dan tradisional sangat sensitif terhadap perubahan harga BBM. Sekitar 60 persen dari total biaya melaut diperuntukkan untuk membeli bahan bakar, terutama solar. Apalagi, 83,19 persen nelayan membeli bahan bakar solar secara eceran yang harganya jauh lebih tinggi dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Di tingkat pengecer, harga solar yang dijual kembali harganya mencapai Rp 7.500 – Rp 8.000/liter, sedangkan pertalite Rp 11.000- Rp 12.000/liter. Hal ini terjadi salh satunya karena infrastruktur distribusi BBM khusus nelayan yang sangat terbatas.

Kesejahteraan nelayan pada periode setelah kenaikan BBM juga cenderung menurun. Hal tersebut tercermin dari nilai tukar nelayan (NTN) yang terus turun dari Agustus 2022 sebesar 107,21 menjadi 105,24 pada September 2022. NIlai Tukar Nelayan Terus mengalami perlambatan hingga pada November turun -0,31 persen. Dengan kondisi perubahan indeks yang dikeluarkan nelayan lebih tinggi daripada perubahan indeks yang diterima nelayan, maka kesejahteraan nelayan mengalami penurunan.

Riset yang dilakukan di 5 lokasi: Demak, Semarang, Tangerang, Gresik, dan Surabaya ini menghasilkan beberapa temuan penting. Pertama, Pasca kenaikan harga BBM, nelayan pada umumnya tetap membeli BBM dalam jumlah yang sama seperti sebelum kenaikan harga. Pembelian volume BBM yang relatif tetap dan bahkan meningkat tersebut konsisten dengan durasi melaut nelayan yang cenderung tetap dalam satu minggu meskipun terjadi kenaikan harga BBM. Hal ini dilakuan nelayan untuk mempertahankan perolehan hasil tangkapan mereka meskipun mengalami kenaikan biaya operasional melaut.

Kedua, Meski nelayan mengeluarkan biaya yang lebih besar pasca kenaikan BBM, namun tidak membuat harga jual hasil tangkapan ikut naik. Mirisnya, harga hasil tangkapan nelayan relatif turun setelah kenaikan harga BBM. Di Tangerang misalnya, rata-rata harga rajungan bahkan turun 63 persen setelah kenaikan BBM, dari Rp 80.000/kg menjadi 30.000/kg; harga Ikan Kerapu turun 35 persen, dari Rp 135.000/kg menjadi 85.000/kg setelah kenaikan harga BBM.

Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan permintaan dan daya beli masyarakat yang lebih dalam dibandingkan dengan penurunan pasokan akibat musim paceklik. Penurunan permintaan tersebut dapat disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga BBM sehingga mendorong masyarakat mengurangi konsumsi produk tangkapan nelayan. Selain itu, tata niaga ikan tangkap dikendalikan oleh pengepul, sehingga nelayan tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga jual hasil tangkapanya sendiri. Dengan harga hasil tangkap yang cenderung turun dan biaya produksi yang naik, rata-rata keuntungan nelayan turun sekitar 30-50 persen.

Ketiga. Dampak dari kenaikan harga BBM menyebabkan pengeluaran rumah tangga nelayan mengalami peningkatan, akibat peningkatan biaya produksi dan peningkatan harga kebutuhan pokok. Kabupaten Demak menjadi wilayah dengan peningkatan pengeluaran rumah tangga yang cukup tinggi yakni 41 persen.

Keempat. Di tengah penurunan pendapatan dan peningkatan pengeluaran yang signifikan, irosnisnya 100 persen nelayan yang disurvei belum pernah menerima bantuan sosial sejak adanya kenaikan harga BBM. Bantuan Sosial kompensasi kenaikan BBM khusus bagi nelayan belum dilakukan secara tepat (sasaran, waktu, dan jumlahnya), sehingga tingkat kesejahteraan mereka tidak semakin memburuk akibat turunnya pendapatan mereka pada saat pengeluaran mereka semakin membengkak.

Kelima. Ketika harga BBM naik dan stok yang terbatas di tingkat eceran, maka dibutuhkan alternatif solusi yang dapat meringankan beban nelayan. Salah satu alternatif tersebut adalah transisi energi dari solar/pertalite ke gas atau energi terbarukan.

*

Kontak:
Muhammad Faisal (Direktur Eksekutif CORE Indonesia)
Dani Setiawan (Ketua Umum DPP KNTI)

Scroll to Top