Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) memperjuangkan semua hal yang terkait dengan hajat hidup dan kepentingan masa depan nelayan tradisional Indonesia, dengan tujuan mewujudkan:
(1) Organisasi nelayan tradisional yang terorganisir, terdidik dan mandiri;
(2) Perikehidupan nelayan tradisional yang berdaulat, sejahtera, dan berbudaya;
(3) Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang adil, lestari dan berkelanjutan.
Sejarah Pendirian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) merupakan bagian dari perjalanan panjang perjuangan nelayan tradisional Indonesia melawan marginalisasi dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik. Marjinalisasi tersebut berwujud dalam bentuk pelanggaran hak-hak dasar, baik yang dilakukan oleh nelayan besar, oleh korporasi yang merampas ruang tangkap, maupun pemangku kebijakan dalam membuat regulasi yang merugikan nelayan. Respon gerakan nelayan tradisional saat itu juga masih parsial, bersifat lokal, dan belum mengusung satu agenda perjuangan bersama secara nasional.
Menyadari situasi semacam ini dan mendesaknya perbaikan nasib nelayan tradisional, pada awal 2008 beberapa tokoh pejuang nelayan tradisional dari berbagai daerah menjalin komunikasi intensif dan melakukan pertemuan di Jakarta dan Yogyakarta yang difasilitasi oleh beberapa Ornop yang menyatukan pandangan dalam memahami dan untuk merespon situasi marginalisasi yang dihadapi nelayan tradisional di berbagai daerah. Muaranya adalah pertemuan di Yogyakarta pada awal 2008 yang dihadiri oleh pejuang nelayan dan sejumlah organisasi di antaranya Walhi, Kiara, Jatam, dan Solidaritas Perempuan. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Komite Pembentukan Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI). Suatu panitia atau komite yang bekerja untuk mempersiapkan kelahiran organisasi nelayan tradisional yang bersifat nasional.
KPNNI melaksanakan Kongres Nelayan Tradisional I yang kemudian menyepakati pendirian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada 15 Mei 2009, bersamaan dengan perhelatan World Ocean Conference (WOC) dilaksanakan pada 11-15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara. KNTI menjadi antithesis WOC yang diinisiasi negara dan LSM internasional yang justru membahayakan nasib nelayan tradisional.
Kongres dihadiri sekitar 100 pimpinan dan pejuang nelayan, laki-laki dan perempuan dari 17 Provinsi di Indonesia, antara lain: Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Sulawesi Utara. Kongres ini juga memberikan mandat kepada lima orang presidium yang mewakili region Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara serta seorang Sekretaris Jenderal yang bertugas menjalankan program-program rutin organisasi.
Dalam Munas KNTI di Jakarta pada 26 Januari 2015 kepengurusan baru dipilih untuk masa empat tahun dengan mengubah kepemimpinan tertinggi organisasi dari Presidium menjadi Ketua Umum dan istilah Kongres menjadi Musyawarah Nasional (MUNAS) KNTI. Munas Ketiga KNTI dilakukan 14 September 2017 di Jakarta dan mengangkat seorang Ketua Harian yang bertugas membantu Ketua Umum. Musyawarah Nasional Keempat pada 19-21 Juli 2022 yang berlokasi dua tempat, yaitu Jakarta dan Bogor. Munas ini semakin meneguhkan KNTI sebagai wadah perjuangan untuk memenuhi hajat hidup dan kepentingan masa depan nelayan tradisional Indonesia. Tumbuhnya organisasi ditandai banyaknya peserta yang hadir meliputi 37 perwakilan Dewan Pengurus Daerah dan 4 Pengurus Wilayah. KNTI juga membentuk dua Badan Otonom KNTI, yaitu: Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) dan Kesatuan Pelajar, Pemuda, dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI).
Keterlibatan KNTI dalam mendorong agenda kebijakan perlindungan bagi nelayan tradisional dan skala kecil semakin penting melalui perannya dalam: Pertama, Keterlibatan dalam advokasi menolak skema privatisasi dan komersialisasi wilayah laut dan pesisir melalui Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (PWP3K). KNTI bersama Organisasi Masyarakat Sipil lainnya mengajukan Uji Materi (Judicial Review) terhadap Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan hasilnya pada 16 Juni 2011 MK menyatakan sebagian pasal di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 melanggar konstitusi karena berpotensi menjadi landasan praktik privatisasi dan komersialisasi sumber daya pesisir, kelautan dan pulau-pulau kecil.
Kedua, KNTI merupakan salah satu organisasi nelayan tradisional di dunia yang terlibat aktif dalam perumusan instrumen internasional perlindungan nelayan kecil yang dikeluarkan Food and Agriculture Organization (FAO) “Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication (VGSSF)” pada 2014. Panduan ini kemudian diadopsi Pemerintah Indonesia. KNTI juga terlibat aktif dalam proses sosialisasi dan evaluasi implementasi VGSSF bersama FAO di Indonesia.
Ketiga, mendorong lahirnya Undang-Undang Perlindungan Nelayan kecil dengan ikut merumuskan instrumennya di berbagai daerah basis KNTI. Advokasi ini juga berhasil melahirkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang disahkan oleh DPR RI pada 14 April 2016.
Keempat. Menguatkan kesadaran dan menggerakkan nelayan tradisional. Hingga 2022, struktur kepengurusan KNTI berada di 37 Kabupaten/Kota, dengan jumlah anggota mencapai sekitar 100 ribu orang, 20 koperasi yang terafi liasi, 7 wilayah konservasi mangrove, 5 sentra budidaya, 4 rumah baca anak, 2 wisata pantai berbasis komunitas, serta inisiatif pengembangan ekonomi nelayan di berbagai daerah.