- Ruang tangkap nelayan dibayang-bayangi persoalan limbah padat maupun cair yang mencemari perairan. Pencemaran tidak hanya terjadi di laut, namun juga terjadi di perairan sungai.
- Selain merusak alat tangkap nelayan, tercemarnya perairan ini juga membuat ikan maupun tangkapan lain seperti rajungan maupun kepiting semakin menjauh.
- Kondisi perairan yang tercemar ini juga bisa menimbulkan berbagai macam penyakit. Tanpa dikelola terlebih limbah yang mencemari perairan bisa mengurangi kualitas air.
- Peneliti menilai, walaupun sudah ada regulasi yang mengatur persoalan pencemaran limbah ini namun fakta di lapangan pengawasannya masih belum optimal. Sedangkan KKP telah melakukan berbagai kebijakan untuk menangani pencemaran di laut
Sebagai pahlawan protein bagi bangsa, kondisi nelayan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Keberadaan mereka tak hanya terdesak pembangunan seperti penambangan dan reklamasi, namun ruang tangkapnya juga dibayang-bayangi persoalan limbah padat maupun cair yang mencemari perairan.
Pencemaran ini terjadi tidak hanya di laut melainkan juga berlangsung di sungai-sungai tempat nelayan menggantungkan hidupnya. Selain merusak alat tangkap yang digunakan, tercemarnya perairan ini juga membuat ikan maupun tangkapan lain semakin menjauh.
Akibatnya hasil tangkapan nelayan menjadi menurun. Gatot Subroto (40), nelayan asal Desa Tideng Pale, Kecamatan Sesayap, Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara mengungkapkan, sejak perairan sungai tempat mencari udang galah tercemar limbah perkebunan sawit, dalam beberapa tahun terakhir kebiasaannya berubah.
Selain tangkapannya terus berkurang, Gatot juga harus mengayuh perahu lebih jauh demi mendapatkan hewan penghuni air tawar bernama latin Macrobrachium rosenbergii itu. “Awalnya sekali berangkat bisa bawa pulang 6 kilo. Tapi akhir-akhir ini sulit dan tidak menentu,” ujar Gatot, Senin (14/10/2024).
Ekspansi sawit yang diduga dikelola oleh PT Teknik Utama Mandiri (TUM) ini, kata Gatot, tidak hanya membuat air menjadi keruh karena tercemar residu pupuk dan pestisida, namun juga membuat kondisi sungai menjadi dangkal.
Gatot bilang, limbah sawit bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi nelayan di daerahnya, namun limbah batubara juga berpengaruh besar terhadap menurunnya hasil tangkapan mereka.
Sejak perkebunan sawit hadir, katanya, sejumlah jenis ikan lokal seperti baung, ringau, kelabu dan lais juga mulai jarang.
Gatot hanyalah satu dari puluhan nelayan di Sungai di Kabupaten itu yang mesti menelan pahit dampak dari perubahan lahan untuk perkebunan sawit.
Merusak Alat Tangkap
Selain di Kabupaten Tana Tidung, menurunnya hasil tangkapan akibat tercemarnya perairan ini juga diungkapkan Syukur Haryanto, nelayan asal Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Menurutnya, nelayan di kabupaten yang berbatasan dengan Singapura itu kerapkali menghadapi masalah pencemaran akibat tumpahan minyak hitam.
Dampaknya tidak hanya membuat tangkapan nelayan menyusut, namun membuat alat tangkap mereka berupa jaring dan bubu juga mudah rusak. Sebab, minyak hitam ini bersifat lengket. Sehingga tidak mudah dibersihkan.
Sedangkan bila terpaksa masih digunakan, ikan maupun jenis tangkapan lain seperti kepiting dan rajungan tidak mudah mendekat. Akhirnya, lanjutnya, nelayan memilih tidak menggunakan alat yang terlilit minyak hitam itu lagi.
Dia melanjutkan, karena alat tangkap sudah tidak bisa digunakan kerugian yang ditanggung nelayan bisa mencapai Rp2 hingga Rp5 juta. “Satu bubu harganya Rp50 ribu, kalau ada 100 bubu yang rusak sudah berapa total kerugiannya? Sedangkan harga jaring minimal itu Rp2 juta,” jelasnya.
Buyung-panggilan akrab Syukur Haryanto tidak tahu persis darimana sumber minyak hitam itu berasal, namun ia menduga bahan berbahaya dan beracun itu berasal dari aktivitas kapal-kapal asing yang melabuhkan jangkarnya di Perairan Out Port Limited atau OPL.
“Kami berharap kepada presiden terpilih agar tidak hanya fokus di pengamanan laut di wilayah perbatasan, tetapi juga bisa mengantisipasi pencemaran lingkungan seperti pembuangan oli di laut,” ujarnya.
Persoalan serupa juga dihadapi nelayan di Medan Belawan, Kota Medan, Sumatra Utara. Ahmad Raji (39), Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional (KNTI) Medan mengungkapkan, sudah puluhan tahun nelayan di Kota Melayu Deli itu dibayang-bayangi persoalan limbah yang mencemari perairan laut Belawan.
Dia bilang, selain limbah industri kelapa sawit, limbah dari aktivitas industri pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Belawan juga kerapkali mengganggu nelayan skala kecil.
“Saya kira belum ada satupun yang mengolah limbah yang benar, meskipun kalau dicermati aturannya sudah ada,” terang dia.
Menurutnya, walaupun persoalan yang dihadapi nelayan kecil ini seringkali disampaikan ke para pemangku kepentingan, namun ia mengaku suaranya kerapkali diabaikan.
Tercemarnya perairan Belawan ini dikuatkan dalam kajian Vina Iman Sari Lubis, dkk. Melalui penelitiannya tentang Monitoring Kualitas Perairan Laut Belawan untuk Pembesaran Ikan Kakap Putih Sistem Keramba Jaring Apung menyimpulkan bahwa, pada bulan Agustus-September kondisi kurang layak untuk budi daya ikan kakap di Keramba Jaring Apung. Hal ini ditandai dengan nilai Survival Rate (SR) dan Average Daily Gain yang rendah.
Pengawasan Lemah
Limbah organik maupun non organik bila dibuang tanpa dikelola terlebih dulu bukan hanya bisa mengurangi kualitas air yang berdampak pada mata pencaharian nelayan. Namun, lebih dari itu karena kondisi perairan yang tercemar ini juga bisa menimbulkan berbagai macam penyakit.
Peneliti Kimia Laut dan Ekotoksikologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova mengatakan, tingginya ancaman kerusakan ekosistem di laut maupun sungai di Indonesia yang diakibatkan oleh limbah ini karena aktivitas masyarakat bertambah banyak.
Reza menilai, walaupun sudah ada regulasi yang mengatur persoalan limbah yang mencemari perairan laut maupun sungai ini, akan tetapi fakta di lapangan pengawasannya masih belum optimal. Bahkan, mendekati nol.
Hal ini dibuktikan dengan masih maraknya perusahaan yang membuang limbahnya lewat ‘pipa-pipa siluman’ ke sungai maupun laut. Menurut Reza, perilaku perusahaan yang tidak bertanggung jawab atas limbah yang ditimbulkan ini bahkan sudah menjadi rahasia umum.
“Kita ketahui tidak seluruh industri memiliki kemampuan untuk mengolah limbahnya sendiri, karena cukup mahal. Nah padahal seharusnya kalau berdasarkan regulasi mereka mempunyai kewajiban untuk melakukan hal tersebut,” papar Reza kepada Mongabay Indonesia, Rabu (16/10/2024)
Padahal, lanjut dia, pemerintah lewat Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah jelas mengatur persoalan pencemaran air ini. Selain itu, produk hukum lain yang mendukung yaitu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Regulasi lainnya adalah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahya dan Beracun (B3). Aturan ini selain membahas pemanfaatan juga menjelaskan perpindahan lintas batas limbah B3.
“Meski kita sudah punya banyak regulasi, tapi belum 100 persen spesifik. Di lain sisi, kita juga perlu penegakan hukum yang kuat dan kesadaran ramah lingkungan tinggi,” imbuhnya.
Penanganan oleh KKP
Sementara itu, Hery Gunawan Daulay, Koordinator Restorasi Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P4K), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan, pihaknya hanya melakukan penanganan berdasarkan kasuistik pencemaran laut. Misalnya, melakukan pembersihan bilamana ada tumpahan minyak atau oli dari kapal-kapal.
“Jika limbah padat seperti sampah organik dan anorganik kita rutin di laut dan pulau-pulau kecil,” jelas Hery singkat, Kamis (24/10/2024).
Kendati demikian, lewat dokumen briefnote yang dikirimkan lembaga yang mulanya bernama Departemen Eksplorasi Laut itu mempunyai tugas untuk mendukung penurunan jumlah limbah plastik pada perairan Indonesia.
Sebagai ketua Kelompok Kerja 3 dalam penanganan sampah laut sektor kelautan dan perikanan, KKP berperan mendorong pencapaian target penurunan sampah plastik di laut ini tidak hanya melalui edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat. Namun juga melakukan penanganan sampah laut, pendanaan, penguatan kelembagaan, penegakan hukum, serta penelitian terkait sampah laut.
Tahun 2023 penurunan sampah laut ditargetkan 70 persen, namun tercapai baru mencapai 35,36 persen. “Ini menjadi tantangan seluruh pihak, khususnya sektor kelautan dan perikanan untuk dapat merealisasikan target pengurangan sampah tersebut,” katanya.
Sebagai upaya untuk mengatasi persoalan ini, berdasarkan Perpres 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut, KKP dimandatkan untuk membangun sarana dan prasarana penanganan sampah di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN). Tahun 2018-2025 ditargetkan 23 PPN/PPS, diklaim sudah terlaksana 100 persen.
Sedangkan untuk target penerapan sertifikasi manajemen lingkungan ISO 14000 untuk pengelolaan sampah dan limbah di 22 PPS dan PPN, baru tercapai 15 dan akan diupayakan selesai sesuai target pada tahun 2025.
Selain itu, target penyusunan Standart Operation Procedur (SOP) kegiatan perikanan budi daya yang ramah lingkungan sudah 100 persen terlaksana. Sementara, target membangun fasilitas Tempat Penampungan Sementara (TPS) atau Pusat Daur Ulang di 39 pulau-pulau kecil, yang sudah terlaksana yaitu 32 lokasi.
Berdasarkan Perpres nomor 83/2018, KKP juga ditargetkan bisa menyelenggarakan Gerakan Nasional Bersih Pantai dan Laut di 24 lokasi. Dari jumlah yang ditargetkan itu, tahun ini diklaim sudah terlaksana 100 persen. (***)
Oleh Falahi Mubarok di 25 October 2024
Sumber: https://www.mongabay.co.id/2024/10/25/nelayan-kecil-dalam-bayang-bayang-limbah-pencemar-perairan/