Perjanjian EFTA-Indonesia hanya akan menyebabkan membanjirnya ikan impor dari luar Norwegia. Sementara 2,7 juta jiwa nelayan yang menggantukan kehidupan akan semakin terpuruk ditengah ketidakpastian usaha perikanan. Terlebih Indonesia telah memiliki UU No. 7/2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam.
Siaran Pers Bersama
Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia dan Norwegia Rugikan Nelayan Indonesia
Jakarta, 14 Desember 2018. Dalam berbagai pemberitaan media diketahui Pemerintah Indonesia dan Norwegia telah bersepakat dan akan menandatangani perjanjian perdagangan bebas pada 16 Desember 2018 di Jakarta. Jika perjanjian ini mulai diberlakukan lebih dari 80% ekspor Norwegia ke Indonesia akan bebas bea masuk. Perjanjian tersebut didorong melalui forum European Free Trade Association (EFTA)[1] dimana Norwegia menjadi salah satu negara anggotanya. Negosiasi perjanjian ini telah berlangsung hampir 8 tahun di antara kedua Negara tersebut.
Sebagai informasi, pada 2017 Indonesia mengekspor produk senilai $ 1,3 milyar ke negara-negara EFTA, sementara Indonesia mengimpor USD $ 1,1 milyar dari blok tersebut. Perjanjian EFTA-Indonesia ini secara intensif dibahas bersamaan dengan keputusan parlemen Norwegia yang melarang penggunaan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit dalam upaya untuk melindungi iklim dan hutan hujan. Secara tidak langsung, keputusan ini berdampak pada intensitas ekspor minyak sawit yang berasal dari Indonesia dengan respon Pemerintah Indonesia dengan ancaman menghentikan masuknya ekspor ikan dari Norwegia. Saat ini, sekitar 60 persen dari total impor salmon ke Indonesia berasal dari Norwegia. Ekspor makanan perikanan laut Norwegia ke Indonesia pada tahun 2017 mencapai $ 250 juta (€ 219 juta).
Perjanjian EFTA-Indonesia secara khusus menjadi saranan untuk menjaga kelangsungan perdangan bebas di sektor perikanan. Perjanjian perdagangan bebas ini hanya menguntungkan Norwegia untuk mengamankan kepentingan posisi ekonomi dalam perdagangan internasional dan akan menguntungkan perusahaan-perusahaan perikanan laut. Perjanjian perdagangan ini hanya akan meningkatkan dam membuka pasar ekspor untuk perusahaan Norwegia. Sementara perjanjian itu akan menjadikan hal sebaliknya bagi situasi perikanan Indonesia.
Perjanjian EFTA-Indonesia hanya akan menyebabkan membanjirnya ikan impor dari luar Norwegia. Sementara 2,7 juta jiwa nelayan yang menggantukan kehidupan akan semakin terpuruk ditengah ketidakpastian usaha perikanan. Terlebih Indonesia telah memiliki UU No. 7/2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. Secara tegas dalam Pasal 12, mewajibkan pemerintah wajib melakukan pengendalian terhadap impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman. Lebih lanjut dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan menyatakan dengan tegas impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Jika impor dilakukan dengan alasan peningkatan nutrisi masyarakat, Indonesia memiliki banyak jenis ikan lain yang memiliki kualitas kandungan gizi yang sangat beragam dan bahkan lebih baik daripada komoditas ikan Salmon maupun ikan Cod dari Norwegia.
[1] Sebagai infromasi, EFTA, yang didirikan pada tahun 1960, menjadi blok perdagangan negara-negara Eropa yang tidak tergabung dengan Uni Eropa. Selain Norwegia, EFTA termasuk Islandia, Swiss, dan Liechtenstein.