Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia pada 24 Mei 2021 telah menandatangani Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2021 tentang pengelolaan lobster (panulirus spp.), kepiting (scylla spp.), dan rajungan (portunus spp.) di wilayah Negara Republik Indonesia. Permen KP ini kemudian diundangkan pada tanggal 4 Juni 2021.
Dewan Pengurus Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (DPP KNTI) telah mengkaji permen tersebut serta menerima informasi-informasi serta masukan dan saran anggota KNTI di berbagai daerah di Indonesia khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk menyikapi terbitnya peraturan baru tentang pengeloaan lobster yang telah ditetapkan oleh Menteri KKP.
Secara umum kami melihat ada perubahan mendasar dalam Permen terbaru ini dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yang mengatur hal yang sama, yakni Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 maupun Permen KP Nomor 56 tahun 2016. Perubahan tersebut pada pelarangan ekspor benih bening lobster dan upaya mendorong pengembangan budidaya lobster di dalam negeri.
DPP KNTI mengapresiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan RI yang telah mengeluarkan aturan ini sekaligus memberikan “angin segar” bagi nelayan untuk melakukan penangkapan benih bening lobster serta mengembangkan budidaya lobster. Namun meski demikian DPP KNTI melihat masih banyak titik krusial di beberapa pasal dan ayatnya.
“Sejak dulu KNTI konsisten menolak adanya ekspor benih bening lobster, adanya Permen KP No.17/2021 ini tentu kabar gembira bagi nelayan kecil dan pembudidaya rakyat. Namun dalam permen baru ini masih perlu diperkuat dalam mendorong nelayan kecil kita semakin maju berusaha di sektor budidaya, oleh karena itu dibeberapa pasal permen ini perlu dilakukan penguatan dalam aspek teknisnya.” ungkap Sekjend DPP KNTI, Iing Rohimin.
Beberapa pasal dan point yang harus dikritisi menurut Iing antara lain, pada Pasal 2 Ayat (2) disebutkan bahwa Penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan estimasi potensi sumber daya ikan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan masukan dan/atau rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.
“Pertanyaannya adalah, bagaimana mekanisme pengawasannya di lapangan? Siapa yang mengawasi? Sehingga hal ini rawan terjadi penyimpangan, apakah pengawas perikanan seperti disebutkan dalam Permen tersebut harus memeriksa satu persatu nelayan yang telah melakukan penangkapan benih lobster? Apa mungkin hal tersebut bisa dilakukan?,” tanya Iing Rohimin.
Iing menambahkan, masalah pengawasan dan kerawanan terjadinya penyimpangan juga bisa dilihat pada Pasal 2 Ayat (3) Penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kuota dan lokasi penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus).
”Pasal 2 Ayat (4) menyatakan bahwa Penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Nelayan Kecil yang terdaftar dalam kelompok Nelayan di lokasi penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) dan telah ditetapkan oleh Dinas provinsi; Berangkat dari Pasal ini maka harus ada jaminan bahwa setiap nelayan kecil bisa terdaftar dan bisa masuk ke dalam kelompok nelayan penangkap Benih Bening Lobster dan tentunya perlu ada sanksi bagi Dinas Provinsi yang menghambat proses tersebut.” Tegas Iing
Hal lain yang disoroti Iing yaitu kedudukan Dinas Provinsi yang keberadaaanya di tengah perkotaan. Hal ini akan mempersulit nelayan dalam mengakses izin tersebut terutama bagi nelayan yang berada di pulau-pulau kecil dan terdepan. Sehingga perlu adanya jemput bola agar nantinya tidak ada nelayan kecil yang menjadi korban penangkapan karena kedapatan melakukan penangkapan benih lobster tanpa surat izin, padahal sejatinya hal ini terjadi karena jauhnya akses perizinan sehingga menyebabkan nelayan terlambatan dalam menerima izin penangkapan.
Pada Pasal 2 Ayat (5) Nelayan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang akan melakukan penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) harus mengajukan pendaftaran kepada Lembaga Online Single Submission (OSS), baik secara langsung atau dapat difasilitasi oleh Dinas.
“Pasal ini membutuhkan sosialisasi sekaligus peningkatan kapasitas nelayan kecil untuk dapat mengakses OSS, belum lagi kendala alat (handphone/komputer) atau jaringan internet di daerah-daerah terpencil, sehingga peran dinas dan tenaga penyuluh harus benar-benar dimaksimalkan dalam hal ini.” ujar Iing Rohimin.
pada Pasal 4 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Pembudidayaan lobster (Panulirus spp.) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh: a. Pembudi Daya Ikan Usaha Mikro; b. Pembudi Daya Ikan Usaha Kecil; c. Pembudi Daya Ikan Usaha Menengah; dan d. Pembudi Daya Ikan Usaha Besar.
“Itu artinya rezim Permen KP 17/2021 memberikan perlakuan yang sama bagi pembudidaya skala mikro hingga besar untuk melakukan aktivitas budidaya di semua kategori (pendederan dan pembesaran). Jika tidak ada pengaturan dan pengawasan yang ketat, kami khawatir terjadi monopoli/oligopoli usaha budidaya lobster oleh pemodal besar dan tidak ada afirmasi bagi pembudidaya skala mikro dan kecil,” tambahnya. Karena itu, KNTI berharap Pemerintah memfasilitasi pendampingan dan pemberdayaan bagi pembudidaya skala mikro dan kecil dalam hal kepastian ruang, permodalan, teknologi, hingga pemasaran. Selain itu, pemerintah juga harus mendorong pengorganisasian ekonomi nelayan kecil dan pembudidaya melalui koperasi untuk terlibat dalam kegiatan ini.
Melihat hal-hal tersebut, DPP KNTI mendesak kepada KKP untuk segera melakukan beberapa hal, antara lain :
- Merevisi pasal-pasal krusial seperti yang telah disebutkan di atas
- Menerapkan sanksi tegas dan berat yang dapat menimbulkan efek jera terhadap para pelanggar Permen
- Mendesak pemerintah (KKP) mengeluarkan kebijakan/aturan tentang pendampingan teknis dan manajemen bagi nelayan tradisional dan pembudidaya skala mikro dan kecil dalam budidaya lobster.
- Segera mengeluarkan mekanisme teknis hingga penataan lokasi budidaya lobster agar tidak menuai konflik tata ruang.
- Segera menyusun dan mengeluarkan strategi dan peta jalur budidaya lobster (tata ruang, modal, infrastruktur, pakan, pencegahan penyakit, harga benih dan harga jual pasca panen)
- Mengeluarkan aturan tentang pengawasan atas kemungkinan terjadinya penyelundupan benih lobster (baik antar daerah atau ke luar negeri).