Dampak Tarif Resiprokal AS Terhadap Sektor Perikanan Indonesia

Penilaian Awal

Sebanyak 180 negara sedang dibuat pusing dengan Presiden Amerika Serikat. Mereka terkena imbas kebijakan Donald Trump menaikan tarif impor untuk memasuki pasar AS yang amat menjanjikan. Pangkalnya, Amerika Serikat (AS) merasa dirugikan dengan rezim perdagangan global saat ini yang berujung defisit neraca perdagangan yang cukup besar, mencapai US$1.294,8 miliar pada 2024. Beberapa negara penyumbang defisit terbesar AS antara lain China, Meksiko, Viet Nam, Jerman, Taiwan, Irlandia, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Thailand, beberapa negara Eropa lainnya, dan juga Indonesia. Dengan metode perhitungan matematika yang dinilai buruk, Trump mengenakan tarif impor baru antara 10-39% dari basis tarif dasar 10% untuk setiap negara.

Apa dampak kebijakan ini bagi sektor perikanan Indonesia? Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari pemerintah, terutama dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tetapi berdasarkan data-data yang tersedia, produk Seafood Indonesia memiliki pasar yang tidak kecil di AS. Dalam rilisnya pada Maret 2025, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa negara tujuan ekspor perikanan selama 2024 yakni Amerika Serikat dengan nilai 1,90 miliar USD atau setara dengan 32,0% total nilai ekspor perikanan Indonesia. Pada 2024, komoditas krustasea hidup, segar atau dipelihara (HS 0306) berada pada urutan ke-8 dari 10 komoditas utama ekspor Indonesia ke AS dengan nilai mencapai 0,7 miliar USD. Produk udang Indonesia juga berada pada posisi yang cukup baik dalam ekspor udang beku dan olahan ke AS. Terutama untuk udang beku, rasio ketergantungan (ekspor ke AS terhadap total ekspor Indonesia) mencapai 82,5%. Menggambarkan betapa berharganya kelonggaran tarif bagi eksportasi produk udang dari Indonesia.

Posisi Indonesia masih kalah dari negara-negara kompetitor utama seperti Ekuador, India, dan Viet Nam. Dua negara yang disebut pertama bahkan dikenakan tarif resiprokal yang lebih ringan, masing-masing 10% dan 26%, sementara Viet Nam 46%. Meski demikian, nampaknya Viet Nam akan mendapatkan kesepakatan yang cukup baik pasca komunikasi cepat dan agresif antara PM Viet Nam dengan Donald Trump beberapa waktu lalu. Selain tekanan dari pengenaan tarif yang tinggi, produk udang Indonesia dinilai semakin tidak kompetitif. Berdasarkan pengakuan para pelaku budidaya dan industri udang dalam negeri, Indonesia selama ini masih bergulat pada isu tuduhan dumping dari AS dan penurunan produksi akibat penyakit udang.

Di luar pasar AS, Indonesia sebenarnya masih bisa mengoptimalkan ekspor udang ke negara lain, seperti: Jepang, Tiongkok, Taipei, dan Malaysia yang selama ini menjadi tujuan utama ekspor udang beku, termasuk pengembangan ke pasar Eropa seperti Spanyol dan Prancis. Pemerintah Indonesia juga harus segera mengeksekusi kerja sama perdagangan yang lebih kongkret untuk mengakselerasi ekspor ke pasar Inggris, Belanda, Denmark dan Jerman untuk produk udang olahan. Indonesia berpeluang besar meningkatkan pasar komoditas udang olahan di pasar global mengingat kontribusinya masih sekitar 12,29% dari kebutuhan pasar global (Kementerian Investasi/BKPM, 2024).

Produk perikanan lainnya yang berpotensi terdampak kenaikan tarif impor AS adalah TCT (Tuna-Cakalang-Tongkol). Pada 2023, total produksi TCT Indonesia mencapai 1,57 juta ton, dengan dominasi produksi pada ikan tongkol. Proporsi ekspor pada 2023 mencapai 13%, dengan dominasi produk terbesar adalah TCT beku. Sisanya (87%) diserap di dalam negeri dan diolah menjadi produk turunan atau dikonsumsi langsung. Negara-negara tujuan ekspor TCT Indonesia antara lain: Amerika Serikat (22%), ASEAN (19,6%), Jepang (18,90%), Timur Tengah (13,80%), dan Uni Eropa (10,90%).

Selama ini Indonesia menikmati tarif yang cukup rendah bahkan hingga 0% pada produk tuna hidup, beku, dan fillet di pasar AS. Sebaliknya, Uni Eropa mengenakan tarif yang relatif tinggi, yaitu sebesar 16-20%. Bahkan pasar Uni Eropa juga banyak membuat hambatan-hambatan non tarif seperti persyaratan sertifikasi mutu dan sebagainya. Mendapatkan sertifikasi dari otoritas seperti European Food Safety Authority (EFSA) menjadi tantangan tersediri dan membutuhkan sumber daya yang besar. Data Bank Dunia memperlihatkan bahwa rata-rata import tariff rate negara mitra dagang utama AS sudah berada di bawah 6% sejak 2022. Bahkan negara-negara ASEAN seperti Indonesia dan Viet Nam sudah di bawah 2%.

Komoditas utama ekspor perikanan Indonesia sebenarnya sangat beragam. Mulai dari udang, TCT, cumi-sotong-gurita, rajungan-kepiting, layur-gulama, tilapia, hingga lobster. Sebagian komoditas ini masih mengandalkan ekspor dalam bentuk produk segar atau beku sesuai dengan permintaan pasar global. Ke depan, orientasi produksi perikanan Indonesia, terutama untuk ekspor juga harus mengarah pada penguatan industri pengolahan (hilirisasi). Pengembangan industri pada produk-produk turunan dari komoditas perikanan dan kelautan yang potensi pasarnya cukup besar, harus dirancang dan dieksekusi segera. Hal ini dimaksudkan untuk dua hal: menghasilkan nilai tambah yang lebih besar dan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas.

Kebijakan tarif impor Donald Trump menimbulkan goncangan dan bahkan kerusakan pada sistim perdagangan internasional yang gencar dipromosikan AS pasca Perang Dunia ke-2. Negara-negara meresponnya dengan berbeda, melakukan tindakan balasan (retaliasi) atas produk impor dari AS atau memilih jalan yang lebih lunak melalui negosiasi. Pemerintah Indonesia nampaknya akan memilih cara yang kedua. Masuk ke meja perundingan yang dianggap memiliki risiko yang lebih kecil. Meskipun cara ini tidak akan segera menyeimbangkan neraca perdagangan kedua negara, tetapi akan membuat Trump merasa senang. Kebijakan tarif baru AS merupakan alat penekan kepada Indonesia untuk membeli lebih banyak barang dari AS dan mengurangi hambatan terhadap impor tersebut. Termasuk kemungkinan menyasar pada pembatasan kebijakan strategis Presiden Prabowo seperti hilirisasi sumber daya alam.

Seperti pada sektor lain yang terdampak (industri pakaian, alas kaki, elektronik, dan minyak sawit), sektor perikanan memiliki karakteristik yang sama pada fungsinya dalam menciptakan lapangan kerja yang besar, baik langsung maupun tidak langsung. Pada sektor pakaian dan alas kaki, kenaikan tarif juga akan memberikan tekanan pada sektor industri yang telah lama mendapatkan tantangan dari pesaing utama seperti Tiongkok, Viet Nam, Bangladesh, dan Kamboja. Meskipun secara relatif kedua sektor itu lebih diuntungkan dengan pengenaan tarif yang lebih rendah dari pesaing utamanya. Karena itu, pemerintah Indonesia harus segera menavigasi dampak kebijakan tarif Trump terhadap sektor-sektor padat karya ini secara akurat serta merumuskan jalan keluar yang tepat.

Perundingan perdagangan antara pemerintah Indonesia dengan AS harus dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan penetrasi produk perikanan Indonesia di pasar AS. Di sisi lain, Indonesia juga harus serius untuk melakukan diversifikasi pasar ekspor produk perikanan ke negara-negara lain yang potensial. Perundingan-perundingan perdagangan baru harus lebih intensif dilakukan secara setara dan saling menguntungkan. Keunggulan Indonesia dalam kepemilikan sumber daya perikanan yang sangat besar, harus disertai dengan peningkatan inovasi pengetahuan dan teknologi sehingga menjadi lebih kompetitif. Hal ini membutuhkan dukungan kebijakan pembangunan yang padu, terutama di sektor perikanan yang berorientasi utama untuk kesejahteraan pelaku utama (nelayan dan pembudidaya), pembesaran kapasitas industri pengolahan (hilirisasi), serta keberlanjutan lingkungan.

Penulis : Dani Setiawan
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)

Scroll to Top