Kita tidak boleh mengulang gambaran buram depresi besar 1930-an. Ratusan orang berdiri di antrian untuk mendapat makan, sementara petani membuang makanan karena tidak bisa mereka jual. Pasokan pangan (pertanian, peternakan dan perikanan) menjadi kunci di masa pandemi. Orang miskin dan yang jatuh miskin akibat kehilangan pekerjaan harus dijamin kebutuhan pangannya melalui bantuan pemerintah. Bagi yang masih punya pendapatan, pasokan pangan yang cukup dan sehat harus dijamin ketersediannya di pasar. Sistim logistik dan jalur distribusi pangan, offline maupun online harus aman dari gangguan.
Rantai pasok pangan terkendala di tingkat domestik bahkan antar negara akibat pembatasan ekspor dan berhentinya sistem logistik. Negara-negara yang tergantung pada impor pangan akan menuai kesulitan dalam jangka waktu yang tidak bisa diperhitungkan. Begitupun jika penanganan Covid-19 terus memburuk ditambah pelemahan ekonomi di dalam negeri, krisis pangan bisa tak terhindarkan. Di sektor perikanan misalnya, 35-38 persen perdagangan pada rantai pasokan internasional berasal dari hasil perikanan dan budidaya. Konsumsi ikan dan makanan laut juga cukup besar, menyediakan sekitar 20 persen dari semua asupan protein hewani yang dikonsumsi oleh 3,2 miliar orang di dunia.
Saking krusialnya soal ini, beragam negara di masa awal pandemi mengambil tindakan proteksi, membatasi perdagangan pangan internasionalnya. Rusia merespon dengan membatasi ekspor gandum dan jagung, sementara Kamboja, Vietnam, Myanmar, Malaysia, dan Ukraina juga mendorong pembatasan ekspor produk terkait biji-bijian. Tak salah bila presiden Soekarno mengatakan bahwa pangan adalah soal hidup dan matinya sebuah bangsa.
Meminjam istilah Jokowi, kita harus lakukan lompatan besar saat ini untuk memperbaiki infrastruktur dan jalur logistik pangan. Misalnya, sumber daya perikanan yang melimpah di Kawasan Timur Indonesia bisa dinikmati dengan kualitas baik dan harga terjangkau oleh masyarakat Indonesia di Kawasan Barat Indonesia. Sekaligus membangun sektor hilir agar aliran bahan baku perikanan dan pertanian dari kepulauan Indonesia tidak terus mengalir ke luar negeri yang semakin memperkokoh basis industri mereka.
Contohnya lagi, saat ini kebutuhan akan produk ikan beku semakin meningkat karena sebagian orang menyimpan cadangan pangan yang aman selama di rumah. Momentum ini seharusnya juga menjadi peluang untuk meningkatkan industri makanan berbahan baku ikan. Investasi diarahkan untuk membangun industri pengolahan dengan mendayagunakan input perikanan yang sangat melimpah jumlahnya. Usaha pemrosesan ikan skala rakyat juga harus dikembangkan agar memperoleh skala ekonomi dan menghasilkan produk yang berkualitas baik. Pemerintah menggandeng warung-warung ritel agar menjual produk hasil olahan industri skala rumahan ini. Selain membantu penyerapan hasil tangkapan nelayan atau pembudidaya, juga membuka lapangan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan konsumen.
Dibutuhkan kecermatan pemerintah dalam melihat masalah ditambah keberpihakan kebijakan dan regulasi. Termasuk memobilisasi sumber daya pengetahuan dan finansial untuk mempercepat integrasi sistem perdagangan ikan dari nelayan langsung kepada konsumen melalui digitalisasi. Usaha pengolahan ikan skala industri juga perlu diperhatikan, agar tersedia bahan baku dan skema untuk mempertahankan skala usaha mereka, sehingga lapangan kerja tetap terjaga. Di hulu, koperasi-koperasi perikanan dibangun dan diperkuat untuk menopang daya tawar nelayan dan keberlanjutan usaha perikanan yang mensejahterakan para pelaku usaha perikanan skala kecil.
29 September 2020
Dani Setiawan
Ketua Harian KNTI