Subsidi pada sektor perikanan merupakan isu yang sering diperdebatkan. Di satu sisi, pemberian subsidi oleh negara telah meningkatkan kontribusi ekonomi sektor perikanan tangkap maupun budidaya dan meningkatkan kesejahteraan nelayan. Pada sisi lain, banyak pihak seperti lembaga perdagangan dunia (WTO) menuding pemberian subsidi mendorong praktek overfishing yang telah merugikan keberlanjutan sumber daya perikanan.
Ada tiga kategori subsidi perikanan: beneficial, capacity-enhancing dan ambiguous. Pada kategori kedua biasanya sumber perdebatan diarahkan. Yaitu subsidi untuk mendorong peningkatan kapasitas penangkapan ikan ke titik di mana eksploitasi sumber daya melebihi hasil maksimum yang berkelanjutan. Praktek subsidi dalam jenis ini dituding dapat memicu eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya perikanan. Terdapat tujuh jenis subsidi pada kategori ini, subsidi BBM merupakan salah satu yang terbesar.
Sebuah studi menunjukkan bahwa secara global, sekitar USD 35,4 miliar diberikan sebagai subsidi kepada sektor perikanan melalui negara pada 2018. Komposisinya menunjukkan bahwa subsidi “peningkatan kapasitas” merupakan kategori subsidi terbesar dengan USD 22,2 miliar (63% dari total), diikuti oleh “subsidi manfaat” sebesar USD 10,6 miliar (30% dari total). Secara keseluruhan, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan jenis subsidi terbesar yang mencapai 22% dari total subsidi global. Kemudian diikuti oleh pengelolaan perikanan sebesar 19% dan pembebasan pajak sebesar 15%.
Proporsi terbesar dari subsidi di negara berkembang dihabiskan untuk subsidi bahan bakar (26%), diikuti oleh pengelolaan perikanan (16%) dan pembebasan pajak (15%). Sementara proporsi terbesar dari subsidi di negara maju diberikan kepada pengelolaan perikanan (26%), pembebasan pajak (16%), dan subsidi bahan bakar (14%).
Tak bisa dipungkiri, subsidi BBM telah berperan penting dalam meningkatkan kapasitas dan keuntungan bagi nelayan tradisional dan skala kecil di banyak negara, terlebih di Asia. Namun, pada saat yang bersamaan, jika tidak tepat sasaran, merugikan nelayan-nelayan skala kecil yang hidup dalam kemiskinan. Di Asia (tidak termasuk China), subsidi untuk peningkatan kapasitas, yang utamanya dalam bentuk subsidi BBM menempati 66% dari total subsidi perikanan. Sebagaimana juga ditunjukan dengan jelas di China, di mana 81% subsidi perikanan mereka dialokasikan untuk jenis ini. Sebagai gambaran, pada 2013 pemerintah China bahkan mengalokasikan anggaran subsidi perikanan sebesar USD 6,5 miliar, 94 persen dialokasikan untuk subsidi BBM.
Perlindungan kepada nelayan/pembudidaya skala kecil terhadap akses BBM bersubsidi mutlak diperlukan. Survei KNTI dan Koalisi KUSUKA Nelayan menunjukkan hal tersebut. Sekitar 70-80 persen biaya operasional penangkapan ikan dihabiskan untuk membeli BBM, masalah pada akses dan ketersediaannya memiliki pengaruh besar bagi penghasilan yang diperoleh nelayan. Dalam dokumen “Petunjuk Sukarela untuk Menjamin Perikanan Skala Kecil yang Berkelanjutan dalam Konteks Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan” yang diadopsi oleh FAO pada 2014 telah menjamin hal tersebut. FAO mendorong agar negara menjamin nelayan dan pembudidaya skala kecil memiliki akses yang terjangkau terhadap energi. Dalam konteks Indonesia, diperlukan upaya progresif untuk mereformasi tata kelola akses dan ketersediaan BBM bersubsidi bagi nelayan dan pembudidaya skala kecil.
28 September 2020
Dani Setiawan
Ketua Harian KNTI