Oleh: M RIZA DAMANIK
Aksi pencurian ikan oleh kapal asing di perairan Indonesia masih marak terjadi dengan beragam modus dan jenis alat tangkap. Ikhtiar menyeluruh harus dilakukan agar penanganan kejahatan perikanan segera tuntas.
M. Riza Damanik
Aksi pencurian ikan oleh kapal asing di perairan Indonesia masih marak terjadi dengan beragam modus dan jenis alat tangkap. Ikhtiar menyeluruh harus dilakukan agar penanganan kejahatan perikanan segera tuntas: menyasar langsung ke faktor “penyebab”, bukan sekadar merespons “akibat.”
Sejak awal 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menangkap 94 kapal, terdiri dari 24 kapal ikan asing, enam berbendera Malaysia, dua Filipina dan 16 Vietnam (Kompas, 30/5/2021) dan 70 kapal ikan Indonesia. Dalam rentang 2015-2020, KKP juga telah menenggelamkan 94 kapal Malaysia, 90 kapal Filipina dan 322 kapal Vietnam. Selain itu, ada juga kapal ikan dari Thailand (22), China (3), Nigeria (1), dan Belize (1).
Kejadian berulang ini menjelaskan efek getar dari ekspose penenggelaman kapal pencuri ikan lima tahun terakhir belum memberikan efek jera.
Faktor penyebab
Keberhasilan memerangi aktivitas pencurian ikan di perairan seluas dan sesubur Indonesia mustahil hanya dengan pendekatan pengawasan. Pencurian ikan hanyalah akibat, sedang penyebab utamanya dapat ditelusuri dari dua faktor.
Pertama, faktor internal, yakni fakta bahwa perairan Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan teramat besar, namun berada dalam ragam ketimpangan yang tak kalah lebar. Secara vertikal, hanya 26 persen dari total kapal ikan Indonesia atau sekitar 5.000 kapal saja yang dapat izin pusat dengan ukuran di atas 30GT dan beroperasi di atas 12 mil laut.
Kondisi minimalis serupa juga tersaji di perairan internasional. Kapal ikan Indonesia yang menangkap ikan tuna di sekitar perairan Samudra Hindia yang terdaftar di Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC) berkurang dari 1.276 kapal (2014) menjadi 524 kapal (Juni 2021). Kapal ikan Indonesia yang terdaftar di Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT) juga turun dari 413 kapal menjadi 176 kapal.
Begitupun di Komisi Perikanan Pasifik Barat dan Tengah (WCPFC) turun dari 361 kapal menjadi 22 kapal. Bahkan, di Komisi Tuna Tropis Antar-Amerika (IATTC) yang sebelumnya masih ada tujuh kapal, kini tak ada sama sekali.
Lalu, di mana sebenarnya sebagian besar kapal ikan Indonesia itu berada? Sebanyak 74 persen beroperasi di perairan kepulauan atau kurang dari 12 mil laut. Jumlah ini belum termasuk ratusan ribu kapal ikan tak bermotor milik nelayan kecil dan tradisional.
Di satu sisi, Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) relatif sepi sehingga “memancing” masuknya kapal ikan asing pencuri ikan. Di sisi lain, perairan kepulauan sangatlah padat. Nelayan kecil dan tradisional tak hanya saling rebut dengan kapal-kapal berukuran menengah dan besar, tapi juga saling sikut dengan sesama kapal kecil.
Ketimpangan serupa terlihat secara horizontal. Sebanyak 60 persen dari total 12,5 juta ton potensi ikan Indonesia ada di timur. Sementara, sekitar 60 persen kapal ikan dan 70 persen infrastruktur pelabuhan perikanan ada di barat. Itu sebabnya, meski potensi ikan Indonesia lebih besar di timur, 64 persen dari sekitar 7 juta ton total tangkapan ikan nasional di 2019 justru di barat dan baru 36 persen sisanya di timur.
Faktor kedua, kondisi eksternal. Yakni, terus meningkatnya permintaan dan perdagangan ikan di dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB memproyeksikan konsumsi ikan dunia di 2030 menjadi 28 juta ton setara berat hidup, 18 persen lebih tinggi dari 2018.
Peningkatan konsumsi terutama dipicu tingginya tuntutan perubahan gaya hidup sehat masyarakat dan tren perdagangan komoditas ikan yang terus tumbuh. Nilai ekspor global ikan dan produk ikan 1976-208 meningkat 8 persen per tahun secara nominal dan 4 persen secara riil. Nilai ekspor 2018 lebih dari 20 kali lipat 1976, yakni 7,8 miliar dollar AS.
Jalan baru
Masa pandemi Covid-19 adalah waktu tepat untuk mengintegrasikan ikhtiar negara dalam mengatasi pencurian ikan dengan mengurangi ketimpangan pembangunan antara timur dan barat, memperkuat ekonomi berbasis laut, serta menjaga keberlanjutan pangan-laut untuk anak bangsa.
Indonesia butuh tata kelola perikanan yang lebih baik guna mendukung lebih banyak lagi armada ekonomi (kapal ikan) beroperasi di seluruh penjuru perairan Indonesia.
Secara operasional, dapat dilakukan melalui tiga langkah. Pertama, memperbaiki ekosistem berusaha untuk memudahkan nelayan dan pelaku usaha perikanan lain bersama-sama melakukan transformasi paradigmatik: dari perairan kepulauan ke ZEEI, dari wilayah barat ke timur Indonesia, dari bahan baku ke produk bernilai tambah.
Arahan Presiden Jokowi pada rapat sidang terbatas 5 April lalu dapat dijadikan peluang mengakselerasi agenda transformasi ini. Presiden telah meminta dinaikkannya rasio kredit perbankan untuk UMKM dari 20 persen menjadi di atas 30 persen di 2024. Plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan dari sebelumnya Rp 50 juta menjadi Rp 100 juta.
Bahkan maksimum pinjaman KUR yang sebelumnya Rp 500 juta direncanakan naik menjadi Rp 20 miliar. Selain pembiayaan, fasilitasi kemudahan perizinan dan pendampingan kemitraan usaha antara nelayan kecil, menengah dan besar harus terus ditingkatkan.
Kedua, memperkuat korporatisasi nelayan berbasis koperasi. Peluangnya ada pada Pasal 26 Ayat (1) dan (2) PP No 7/2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM yang membuka peran koperasi nelayan untuk kembali mengelola Tempat Pelelangan Ikan.
Strategi ini akan memudahkan koperasi melakukan konsolidasi hulu-hilir usaha nelayan kecil dan tradisional jadi setara korporasi. Maka, perikanan rakyat tak lagi hanya jadi “pemain belakang” (di bawah 12 mil laut), tetapi juga bisa terlibat aktif dalam mengelola perikanan di ZEEI atau terdaftar di Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMOs) untuk beroperasi di laut lepas.
Terakhir, memperkuat kelembagaan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.
Sesuai amanat UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, penugasan Bakamla dilakukan secara terintegrasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali. Penguatan Bakamla bukan sekadar menambah jumlah armada patroli, tetapi juga dilengkapi sistem informasi maritim terpadu, SDM unggul dan dukungan anggaran memadai.
KKP bisa kembali pada tugas dan fungsi utama memperbaiki tata kelola perikanan dan kelautan nasional agar lebih optimal, adil, berkelanjutan. Jalan baru menangkal pencurian ikan adalah menjadikan laut senyata-nyata ruang hidup bangsa.
Artikel ini dimuat di Kompas pada tanggal 9 Agustus 2021 dengan judul “Jalan baru tangkal pencurian ikan”