Rencana Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT)

Policy Brief | Oleh : DPP Kesatuan Pelajar, Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia

Pendahuluan

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) beserta  Peraturan Menteri Kelautan Perikanan 28/2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 Tentang Penangkapan Ikan Terukur yang berbasis kuota menandai babak baru liberalisasi perikanan Indonesia. Aturan ini merupakan turunan UU Cipta Kerja No 6/2023.  PIT adalah salah satu program ekonomi biru (Blue Economy). Padahal ekonomi biru sejatinya hanyalah metamarfosis kapitalisme global (Schutter, 2021). Sehingga, instrumen kebijakannya berupa sistem kuota. Ekonomi biru pun masih kontroversial dan ambigu (Cisneros-Montemayor, et al (2022). Namun, Indonesia mengadopsinya mentah-mentah hingga menyamakannya dengan ekonomi kelautan (ocean economy). Penggagas utamanya, Gunter Pauli (2010, 2017) tidak menyamakan ekonomi biru dengan ekonomi kelautan. Problemnya, apakah kebijakan PIT bakal menyejahterakan nelayan atau menindasnya?  Mengingat saat  kebijakan disusun dan diformulasikan nelayan skala kecil (NSK)/nelayan tradisional  terabaikan dan absen diajak bicara. Ironisnya, baik UU Cipta Kerja, PP maupun Permen KP PIT mengaburkan definisi dan eksistensi NSK. Suatu bentuk penindasan struktural  berbasis negara.

Kebijakan Perikanan Orde Baru-Orde Reformasi

Kebijakan perikanan Indonesia semenjak Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini nyaris tidak memberikan ruang adil dan berkelanjutan bagi kesejahteraan nelayan skala kecil/nelayan tradisional. Justru kebijakan yang lahir meminggirkan hingga mengusir nelayan skala kecil demi, Pemerintah lebih menomorsatukan agenda-agenda liberalisasi dan privatisasi sektor perikanan yang berorintasi pertumbuhan ekonomi tinggi dan mengabaikan keberlanjutan sumberdaya perikanan beserta ekosistemnnya. Peta kebijakan perikanan Orde Baru hingga Reformasi disajikan dalam Tabel berikut ini.

Tabel 1 Peta Kebijakan Perikanan Orde Baru hingga Reformasi

PeriodePemerintahanKebijakanTargetHasil
1970 -1990’anOrde Baru (Soeharto 32 Tahun)Revolusi Biru (Modernisasi Perikanan). Setingkat Dirjen Perikanan, di Kementerian PertanianPeningkatan Produksi perikanan Tangkap dan budidayaPeriode 1969-1974 produksi perikanan laut tumbuh rata-rata 8,6 % per tahunTahun 1990 produksi perikanan nasional menyentuh angka 3,16 juta ton, dan jadi 4,24 juta ton tahun 1996. Peningkatan yang bersumber dari perikanan laut mencapai 75 % dengan rata-rata pertumbuhan 6,68 %  per tahun (BPS, 1996)Over exploitation seluruh WPP > 80 % & pembabatan mangroveKemiskinan nelayan tidak terentaskan
1999-2001Pemerintahan Gus DurProtekan 2003 (Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan, Sarwono Kusumaatmadja)Produksi ikan nasional tahun 2003 sebesar 9 juta ton, nilai ekspor 10 milyar $ USProduksi ikan nasional tahun 2003 hanya sekitar 5,8 juta ton,nilai ekspor dibawah 1,7 milyar $ US (FAO, 2009). Ilegal fishing juga merajalelaKemiskinan nelayan tidak terentaskan
2001 – 2004Pemerintahan Megawati SoekarnoputriGerbang Mina Bahari (MenKP Rokhmin Dahuri)Produksi ikan nasional sebesar 9,5 juta ton tahun 2006, Devisa ekspor sebesar 10 milyar $ USFAO (2009); Produksi ikan nasional tahun 2006 hanya sekitar 6,2 juta ton. Nilai ekspor produk perikanan hanya 2 miliar $ US.Ilegal fishing juga merajalelaKemiskinan nelayan tidak terentaskan. Meskipun ada Program PEMP
2004 – 2009Susilo Bambang Yudhoyono (KIB I)Revitalisasi Kelautan & Perikanan (MenKP Freddy Numberi)Produksi ikan nasional tahun 2009 sebesar 9,7 juta ton dengan nilai ekspor sebesar 5 milyar $ USPrediksi FAO (2009) produksi perikanan Indonesia tidak akan melebihi 7 juta ton & nilai ekspornya hanya 2,1 milyar $ US. Ilegal fishing juga merajalelaKemiskinan Nelayan tidak terentaskan
2009 – 2014Susilo Bambang Yudhoyono (KIB II)The New Blue Revolution. Program Minapolitan Permen KP No 35/2013 (MenKP Fadel Muhammad)Produksi ikan nasional 50 Juta Ton dan nilai ekspor sebesar 11 milyar $ US (basis budidaya perairan umum)Kemiskinan Nelayan tidak terentaskanProgram bantuan kapal Inka Mina Mangkrak. Hannya 40-50 persen terealisasi (APBN Rp 1,5 Triliun)
2009 – 2014Susilo Bambang Yudhoyono (KIB II)Industriallisasi Perikanan (MenKP Sharif Cicip Sutarjo)Target Produksi Perikanan 20,05 Juta ton (2014)  naik dari 18,49 juta ton (2013). Tangkap 6.08 juta ton dan Budidaya 13,97 jutan tonKebijakan bantuan 1000 kapal INKA MINA gagal dan mangkrak senilai Rp 1,5 triliunTarget tidak tercapai dan,Kemiskinan Nelayan tidak terentaskan
2014-2019Jokowi Periode IPoros Maritim Dunia (MenkP Susi Pujiastuti)Perikanan tangkap 6,3 juta ton (2015), dan 6,5 juta ton (2016), 6,6 juta ton (2017), 6,8 juta ton (2018) dan 7 juta ton (2019)Produksi perikanan meningkat 20,84 juta ton (2014) menjadi 23,51 juta ton (2018)Pemberantasan illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing serta pengembangan ekonomi maritim dan kelautan.Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan meningkat dari 7,31 juta ton/tahun menjadi 12,54 juta tton per tahunProgram bantuan kapal mangkrakKemiskinan nelayan belum terentaskan
2019 – 2024Jokowi Periode IIPercepatan Poros Maritim Dunia melalui Kebijakan Kelautan Indonesia (Perpres 32/2022Peningkatan produksi perikanan dan penerimaan PNBPTarget PNBP tidak pernah tercapaiProgram Subsidi BBM dan Kartu Nelayan tidak tercapai optimal
 Era  MenKP Edy PrabowoKebijakan Kontroversial Eskpor Benih Lobster dibukaPenenggelaman kapan dikurangiMembolehkan cantrangPencabutan batas ukuran kapalPerikanan Tangkap 8,02 juta ton Perikanan budidaya 18,44 juta ton tahun 2020 dan meningkat menjadi 10.10 juta ton tahun 2024Target gagal tercapaiMenKP ditangkap dan masuk penjara karena kasus Korupsi  dalam bisnis ekspor benih lobsterKemiskinan nelayan juga tidak terentaskan
 Era  MenKP Sakti  Wahyu TrenggonoEkonomi Biru (PIT) dan Shrimp estateProduksi perikanan 30,85 juta ton Produksi perikanantangkap 6 juta ton. Perikanan budidaya 24,85 juta ton Garam 2 juta ton 2024 Target PNPB 12 T hingga tahun 2024Belum ada realisasi dan  mengarah padaliberalisasi dan  privatisasi perikanan berbasis kuota di seluruh WPPNRIIUUF masih marakKemiskina nelayan tinggi dan belum terentaskan
Sumber: Dikumpulkan dari berbagai sumber

Dari Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa kebijakan sektor perikanan sejak Orde Baru hingga Reformasi saat ini tidak berpihak pada nelayan skala kecil/tradisional. Meskipun ada kebijakan afrmatif seumpama bantuan kapal, dan subsidi bagi nelayan skala kecil, kenyataannya mereka tak menikmati hal tersebut. Kasus bantuan kapal malah kapalnya mangkrak karena kapal bantuan tidak sesuai dengan tipologi wilayah tangkap nelayan, dan budaya melautnya. Sementara progam subsidi (BBM dan pemberdayaan ekonomi) juga tidak tepat sasaran. Padahal, sebagian progra-program tersebut merupakan utang luar negeri.

Privatisasi Zona Penangkapan Ikan ala PIT Berbasis Kuota

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) beserta  Peraturan Menteri Kelautan Perikanan 28/2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 Tentang Penangkapan Ikan Terukur yang berbasis kuota membagi wilayah pengelolaan perikanan Negara Republilk Indonesia )WPPNRI) menjadi  zona-zona penangkapan  ikan. Zona PIT (i) WPPNRI di perairan laut; dan (ii) laut lepas. Zona PIT di WPPNRI di perairan laut diperuntukkan sebagai (i) Daerah Penangkapan Ikan; dan (ii) Daerah Penangkapan Ikan Terbatas (pasal 3) Daerah Penangkapan ikan dimanfaatkan (i) Nelayan Kecil; dan/atau (ii) Setiap Orang, Pemerintah Pusat, atau Pemerintah; (iii) Daerah yang melakukan kegiatan bukan untuk tujuan komersial.

Pembagian zonasi PIT yang ditetapkan dalam PP No 11/2023 dan Permen KP No 28/2023 adalah:

  1. Zona 01, meliputi WPPNRI 7ll (perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara);
  2. Zana 02, meliputi WPPNRI 7!6 (perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), WPPNRI 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik), dan Laut Lepas Samudera Pasifik;
  3. Zona O3, meliputi WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), WPPNRI 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur), dan WPPNRI 7L4 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda
  4. Zona 04, meliputi WPPNRI 572 (perairan Samudera sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda), WPPNRI 573 (perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat), dan Laut Lepas Samudera Hindia;
  5. Zona 05, meliputi WPPNRI 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman); dan
  6. Zona 06, meliputi WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa) dan WPPNRI 7l3 (perairan Sela.t Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali).

Dasar pertimbangan zonasi PIT ini tidak jelas dan mengabaikan sama sekali keberadaan perikanan skala kecil dan adat yang berlokasi di seluruh WPPNRI.  Artinya, kebijakan ini memaksa perikanan skala kecil/nelayan tradisional dan perikanan adat “dipaksa” menerapkan sistem kuota dan bersaing dengan perikanan komersial. Ketentuan ini juga mempertegas sikap pemerintah dalam privatisasi perikanan berbasis kuota di WPPNRI (kebijakan neolieral) yang berorientasi industrialisasi perikanan berorientasi ekspor dan perikanan komersial termasuk memboleh asing menguasai kuota.

Kuota Penangkapan Ikan pada Zona PIT ditetapkan setiap WPPNRI di perairan laut dan laut lepas dihitung berdasarkan potensi sumber daya ikan yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan.  Pasal ini problematik karena tidak ada stock assessment berbasiskan jenis ikan hanya kelompok ikan dan dihitung 5 tahun sekali) (Pasal 6). Padahal di pasal 11, Kuota PIT hanya berlaku 1 tahun. Lantas menggunakan apa dasarnya untuk pemberian kuota tahun berikutnya setelah masa berlaku kuotanya habis (Pasal 11). Ketentuan ini sangat  membahayakan ketentuan ini karena berpotensi memicu IUUF.

Kuota Industri di atas 12 mil laut. Diberikan kepada perseorangan (nelayan kecil dalam koperasi) dan badan usaha berbadan hukum (PT dan Koperasi). Badan usaha berbadan hukum untuk kuota industri (zona 0l, zona 02, zona 03, dan zona 04) buat PMDN dan PMA. Jadi asing juga akan diberikan kuota. Apakah perikanan tradisional dan nelayan skala kecil mampu bersaing dengan armada perikanan domestik dan asing sebagai penangkapan komersial? Ketentuan ini jelas akan mempertegas bahwa asing akan beroperasi di setiap WPPNRI. Karena, jelas orientasinya PNBP an sich.  Badan hukum PT dan Koperasi (zona 05 dan zona 06) PMDN. Ini dipastikan akan mematikan perikanan skala kecil. Buktinya, sebelum ada kebijakan ini pun perikanan skala kecil (nelayan tradisional sudah ditindas dan dipinggirkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya) (Pasal 8).

Ilusi Menyahteraknan Nelayan

Perspektif Historis –Struktural

Sejarah mencatat, belum ada  kebijakan sektor perikanan sejak pemerintahan sejak rezim Orde Baru hingga reformasi saat ini mampu  mensejahterhkan nelayan khususnya nelayan skala kecil. Perikde tahun 1970-an hingga 1980-an, pemerintah menjalankan kebijakan liberalisasi perikanan lewat Modernisasi Perikanan atau Revolusi Biru (Blue Revolution) (Karim 2005, 2023).  Tujuannya adalah  

  1. Memodernisasi perikanan melalui penggunaan motorisasi dan teknologi alat tangkap modern termasuk legalisasi trawl demi mencapai produktikvitas tinggi.
  2. Pemberian fasilitas kredit berupa kredit usaha (Kredit Investasi Kecil/KIK dan Kredit Modal Kerja Permanen/KMKP), untuk mesin-mesin, perahu-perahu dan peralatan penting kepada para nelayan. 
  3. Pembangunan fasilitas infrastruktur yang mendukung kegiatan perikanan laut agar menjamin efektivitas dan peringkatan produksi berupa pelabuhan perikanan, ruang pendingin (cold storage), tempat pengeringan ikan, tempat pelelangan ikan (TPI) (Sidarto, dan Atmowasono, 1977 dalam Tindjabate, 2001). Era tahun 1980-an, pemerintah kemudian melegalkan kebijakan ini dengan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Perikanan.

Selama kurun waktu tersebut kondisi strok sumberdaya ikan dan ekosistemnya di pantai timur Sumatera, Pantai Utara Jawa, mengalami tingkat eksploitasi berlebihan akibat penggunaan kapal dengan alat tangkap trawl yang didukung kebijakan kredit dari pemerintah. Menyikapi kondisi yang kian memanas akibat konflik perebutan wilayah tangkap antara perikanan tradisional dan skala komersial, pemerintah Orde Baru menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Trawl  berlaku 1 Juli 1980-1 Juli 1981. Terkecuali, perairan Arafura dan kapal yang diperbolehkan tinggal 1000 unit saja.  Namun, kebijakan itu tidak sepenuhnya berjalan efektif. 

Salah satu dampak kebijakan modernisasi perikanan ala Orde Baru era tahun 1970-an adalah hilangnya daerah Bagan Siapi-Siapi sebagai Pusat Pelelengan Ikan terbesar di Asia Tenggara waktu itu. Sekarang daerah tersebut tinggal nama dan tidak ada lagi aktivitas perikanan tangkap maupun perdagangan ikan. Kota itu menjadi situs “prasasti” era kejayaan perikanan tangkap era Orde Baru yang hancur akibat kebijakan liberalisasi/privatisasi pada masa itu.

Di sektor budidaya era Orde Baru menerapkan kebijakan blue revolution (BR) melalui pembukaan tambang udang besar-besaran tahun 1980-an. Akibatnya: lahan pesisir Pantai utara Jawa. Pantai Timur Sumatera, pesisir Kalimantan dan Sulawesi hancur. Penyebabnya, hutan mangrovenya dibabat buat tambak udang dari tradisional, semi – intensif dan intensif.

Dampak Kebijakan Modernisasi dan Privatisasi Perikanan

Dampak kebijakan modernisasi/privatisasi perikanan semenjak Orde Baru hingga saat ini adalah terjadi kemiskinan struktural masyarakat pesisir dan pulau kecil terutama nelayan.  Penyebabnya adalah:

  1. Kemiskinan terjadi karena korban pembangunan yang dijalankan negara. Negara melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang mengakibatkan masyarakat kehilangan mata pencaharian dan tergusur dari ruang hidup dan aksesnya. Contohnya penggusuran akibat reklamasi, PSN di Pulau Rempang, dan pertambangan di Pulau Wawonii.
  2. Kemiskinan terjadi akibat golongan tertentu tidak memiliki akses terhadap kegiatan ekonomi produksi akibat pola “institusional” yang diberlakukan. (Damanhuri, 1996). Pemerintah lewat kebijakan-kebijakannya yang menutup akses masyarakat pesisir sehingga mereka kehilangan sumber kehidupannya.
  3. Perampasan ruang laut dan sumberdanya (Ocean Grabbing) yang dilakukan negara dan korporasi dengan legitimasi institusional lewat kebijakan-kebijakan yang diterbitkan (Bennet al al, 2015).  Praktik semacam ini berlangsung masif di semua wilayah/daerah di Indonesia dan korbannya adalah masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil.

Tragedi komoditas (Tragedy of commoditiy) yang disebabkan industrialisasi berorientasi ekspor dan pertumbuhan ekonomi an sich yang mengabaikan aspek kelembagaan, mengerus nilai-nilai (values) masyarakat pesisir yang melekat (embedded) dalam model tatakelolanya yang mempertimbangkan aspek sosial ekonomi dan ekologi (Karim 2022). Imbasnya, semakin tinggi ekspor sumberdaya ikan, maka semakin tinggi pula tingkat deplesi stoknya, sehingga masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, kesenjangan dan kemiskinan kian meningkat serta krisis ekologi, dan perubahan iklim  (Longo et al 2015). Kasus perikanan rajungan di Provinsi Lampung sudah mengalami tragedi komoditas akibat sumberdayanya dikuras secara terus-menerus untuk kepentingan pasar internasional tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya spesies dan ekosistemnya (Nugroho et al 2023).

Mendorong Ekonomi Politik Perikanan Berkedaulatan Rakyat

Agar supaya kebijakan pembangunan perikanan nasional berkedaulatan rakyat, maka orientasi ekonomi politiknya adalah:

  1. Di masa datang, orientasi pembangunan perikanan nasional tidak semata-mata berorientasi pertumbuhan an sich (growth oriented) (eksploitatif dan ekstraktif), melainkan mesti ada pergeseran paradigma (paradigm shift). Ada beragam paradigma pilihan yang diberlakukan secara radikal dan konsisten dan bisa saja anti mainstream dalam implementasinya. Pemikiran-pemikiran alternatif di tingkat global berkembang diantaranya: regenerative development oriented (Degrowth  atau Doughnut Economics).  Model semacam ini bisa dipraktikan di level masyarakat lokal dan nelayan skala kecil (produsen sekitar 80 persen ikan) pangan pokok protein di Indonesia. Atau, pemerintah men-deprivatisasi kebijakan perikanan nasional, sehingga mengurangi eksploitasi/ekstraksi sumberdaya dan ekosistemnya.
  2. Mereformasi kelembagaan perikanan nasional secara radikal yang memosisikan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak sebagai produsen pangan nasional. Reformasi kelembagaan ini bersifat konstitusional yaitu memasukan hak alamiah sumberdaya alam (perikanan) dalam UUD 1945. Prosesnya dapat melalui mekanisme amandemen, sehingga keberlanjutan sumberdaya perikanan/perairan serta kelembagaannya (berbasis adat) terjamin. Jadi, hak-hak masyarakat pesisir dan adat maupun hak-hak alamiah sumberdaya  dan ekosistemnya terjamin keberlanjutan dan ekosistemnya. Dengan demikian, jika korporasi/private melakukan tindakan destruktif akan mendapatkan sanksi berat untuk memulihkan sumberdaya  maupun ekosistemnya hingga dikenai disinsentif yairu wajib memberikan kompensasi kepada rakyat yang terkena dampak dari tindakan destruktif dalam aktivitas penangkapan ikan. 
  3. Kebijakan re-grabbing sebagai perwujudan dari blue degrowth akibat perampasan yang dilakukan oleh korporasi industri perikanan pemilik kuota dalam perikanan tangkap yang mengusung paradigma ekonomi biru. Pasalnya, orientasi pertumbuhan biru sebagai tujuan ekonomi biru menurut Said dan MacMillan (2019) merupakan bentuk kebijakan yang ditopang paham neoliberalisme luas dalam tatakelola dan kebijakan perikanan. Model kebijakan neoliberal ini telah berdampak buruk bagi perikanan Uni Eropa satu dekade terakhir karena mengabaikan keberlanjutan perikanan skala kecil/nelayan tradisional. Pelajaran berharga dampak buruk kebijakan ekonomi biru di alami negara Malta karena lebih memprioritaskan korporasi besar dalam aktivitas perikanan tangkap dan mengabaikan perikanan skala kecil.  Artinya, kebijakan ekonomi biru yang diterapkan di Malta  termasuk juga perikanan budidaya dan pariwisata pesisir telah  menggusur penangkapan ikan tradisional. Dampaknya, perikanan artisanal-komersial berada di ambang kehancuran hingga kepunahan. Kondisi ini tak menutup kemungkinan akan dialami Indonesia dalam satu dekade ke depan jika tetap memaksakan kebijakan PIT.

Penutup

Demikianlah Policy Brief ini disusun sebagai respon akan diterapkannya kebijakan Penangkapan Ikan Terukur oleh pemerintah Indonesia tahun 2024.

Scroll to Top