Diprediksi, pembangunan NCICD akan mendorong praktik penggusuran yang berdampak pada masyarakat. Jika merujuk pada RPJMD Provinsi DKI Jakarta 2018-2022, khususnya di daerah kamal muara, muara angke dan kali blencong yang akan dibangun tanggul laut dan tanggul muara sungai sepanjang 6.750 meter sebagai bagian pembangunan NCICD tahap darurat, disebut Fase D.
Siaran Pers
Dewan Pengurus Pusat
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
(DPP KNTI)
Pemerintah Indonesia menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) baru untuk pelaksanaan (NCICD) dengan Pemerintah Belanda. Informasi ini didapatkan melalui laman Linkedin Projek Manajer NCICD Victor Coenen. Diinformasikan, kemarin 24 Juni 2019, di PBB di New York, menteri Belanda Van Nieuwenhuizen dan menteri Indonesia Basuki menandatangani MoU baru tentang National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), strategi manajemen banjir untuk Jabodetabek. Selanjutnya, Korea, juga akan menandatangani dalam seminggu kedepan selama kegiatan Pekan Air Korea (Korean Water Week). Dasar dari Nota Kesepahaman ini adalah pembaruan strategi yang disebut Rencana Keselamatan Banjir Terpadu 2019 (Integrated Flood Safety Plan/IFSP 2019). IFSP 2019 ini memiliki tiga tahap, tahap pertama (meningkatkan tanggul laut yang ada dan memperbaiki drainase kota) sudah dalam pembangunan. MoU ini berfokus pada kerja sama trilateral untuk Tahap A dan tahap kedua B (konstruksi pemecah gelombang lepas pantai besar dengan jalan tol). Juga menghentikan penurunan tanah, mempercepat pasokan air pipa dan komponen kunci sanitasi NCICD. Di bawah MoU, proyek sekarang akan dirinci lebih lanjut dalam Outline Business Case.
Rencana pelaksanaan NCICD bukan merupakan barang baru. KNTI telah memberikan respon dan kritik sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memasukan rencana pembangunan NCICD dalam draft rancangan awal RPJMD Provinsi DKI Jakarta 2018-2022 pada 2017 lalu.
Diprediksi, pembangunan NCICD akan mendorong praktik penggusuran yang berdampak pada masyarakat. Jika merujuk pada RPJMD Provinsi DKI Jakarta 2018-2022, khususnya di daerah kamal muara, muara angke dan kali blencong yang akan dibangun tanggul laut dan tanggul muara sungai sepanjang 6.750 meter sebagai bagian pembangunan NCICD tahap darurat, disebut Fase D.
Pembuatan tanggul laut tidak dapat menyelesaikan masalah sistemik yang terjadi di daratan Jakarta. Penurunan permukaan tanah di Jakarta terjadi karena beban pembangunan yang sangat besar di daratan. Pemerintah harus berani tegas menghentikan pembangunan infrastruktur yang masih dilakukan secara massif. Selain itu, penurunan muka tanah juga terjadi karena pengambilan air tanah secara terus-menerus. Eksploitasi air tanah terjadi karena banyaknya sektor-sektor industri seperti pabrik, pusat berbelanjaan, perkantoran hingga fasilitas penunjang pariwisata (hotel) yang tidak pernah diatur secara serius oleh pemerintah.
Praktik reklamasi juga dimungkinan terjadi sebagai bagian dari NCICD. Pembangunan ini merupakan praktik lain terhadap peminggiran dan pelanggaran terhadap hak-hak nelayan. NCICD akan menutup akses nelayan menuju fishing ground. Sekalipun dalam rancangannya nanti akan dibuatkan pintu untuk akses keluar-masuk kapal. Namun, jelas menambah biaya nelayan dalam mencari ikan. Padahal bagi Jakarta, tindakan yang penting untuk dilakukan adalah melakukan restorasi dan pemulihan ekosistem Teluk Jakarta dengan memperhatikan aspek-aspek perlindungan dan pemberdayaan nelayan.
Untuk itu, KNTI meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memasukan beberapa poin yang penting menjadi perhatian seperti:
- Menghentikan dan menghapus pembangunan proyek NCICD di DKI Jakarta.
- Memastikan Aspek Perlindungan Tenurial Masyarakat Pesisir dan Nelayan Atas Laut dan Tanahnya khususnya kasus besar yang terjadi yaitu reklamasi dan peranpasan Pulau Pari;
- Menyusunan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya.
- Memastikan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dengan Memperhatikan Daya Tampung dan Daya Dukung Dalam setiap kebijakan, rencana dan program pembangunan yang dirancang.
- Memperhatikan Isu dampak perubahan iklim dengan pendekatan scooping dan cooping. Terkait soal perhitungan emisi karbon dan memastikan tingkat resiliensinya (daya tahan/lenting).
- Memastikan menghitung resiko bencana dari setiap pembangunan yang berjalan.
- Berkonsentrasi kepada penghentian penurunan muka tanah khususnya di pesisir utara dengan jelas disertai proses impementasi beserta tahapannya. Salah satunya dengan menghentikan pengambilan air tanah dan memastikan terpenuhinya hak atas air dengan menghentikan privatisasi air;
- Memperhatikan pengurangan beban pencemar yang masuk melalui sungai-sungai, baik limbah padat, limbah cair, termasuk logam berat juga dengan tahapan implementasinya.
- Mestorasi dan merehabilitasi hutan mangrove di pesisir utara Jakarta dan Kepulauan Seribu.
- Memastikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia dari nelayan dan masyarakat pesisir Jakarta.
- Meminta untuk melibatkan masyarakat, nelayan secara khusus, serta semua pakar khususnya yang selama ini vokal terhadap proyek yang berkenaan dengan Teluk Jakarta dengan sebenar-benarnya .
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Marthin Hadiwinata, Ketua Harian DPP KNTI, +62812 8603 0453