Bisnis Lobster dan Nasib Ekonomi Nelayan

Polemik ekspor benih Lobster menjadi primadona diskursus di ruang publik beberapa waktu yang lalu. Tak kurang menteri, mantan menteri, pengamat dan praktisi kelautan dan perikanan turut ambil bagian dalam perdebatan. Wacana publiknya masih terus bergulir, namun belum ada suatu skema yang komprehensif. Utamanya untuk mencari solusi permanen dengan orientasi utama meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya.

Dani Setiawan
Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)

Polemik ekspor benih Lobster menjadi primadona diskursus di ruang publik beberapa waktu yang lalu. Tak kurang menteri, mantan menteri, pengamat dan praktisi kelautan dan perikanan turut ambil bagian dalam perdebatan. Wacana publiknya masih terus bergulir, namun belum ada suatu skema yang komprehensif. Utamanya untuk mencari solusi permanen dengan orientasi utama meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya.

Masalah bermula dari rencana Menteri Kelautan dan Perikanan merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 56 tahun 2016. Pada intinya, Permen tersebut melarang dua hal. Pertama, penangkapan dan pengeluaran (ekspor) benih lobster dengan ukuran panjang karapas kurang dari 8 cm dan berat kurang dari 200 gram. Kedua, melarang penjualan benih lobster untuk budidaya.

Dalam ekonomi, polemik Lobster menandakan ciri penting dari sebuah aktifitas bisnis yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Jika tidak, sulit rasanya membayangkan begitu banyak pihak yang terlibat dalam perdebatan ini. Faktanya hingga sekarang, lobster merupakan kelompok produk makanan laut paling berharga yang diperdagangkan, per satuan volume, di dunia. Kondisi ini dalam banyak hal dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan per kapita di pasar Asia, terutama China terus mendongkrak harga lobster, yang dianggap sebagai produk mewah.  

China merupakan pasar potensial lobster yang sedang tumbuh pesat. Pendapatan kelas menengah dan atas di negeri tirai bambu itu mengalami peningkatan dalam pembelian barang pangan impor dari Barat. Hal ini terutama merespon munculnya gaya hidup untuk mengkonsumsi pangan yang sehat, aman, organik dan dapat dipercaya. Di sisi lain, kemampuan untuk membeli produk makanan yang diproduksi oleh negara-negara Barat, terutama hidangan mahal seperti lobster adalah tanda kedudukan sosial dan kemakmuran. Lonjakan penjualan misalnya dialami oleh JD.com, sebuah situs penjualan online berbasis di China yang berhasil menjual 140.000 lobster hidup dari Kanada hanya dalam waktu kurang dari 20 jam di hari promosi pada tahun 2017. Tahun berikutnya, perusahaan ini berhasil meningkatkan penjualan hingga 12 ton lobster dari Kanada.

Permintaan akan lobster batu (rock lobster) di Cina sangat tinggi dan trennya semakin meningkat, demikian pula harganya. Restoran di Guangzhou dan Shanghai, hidangan lobster dibandrol dengan harga mencapai USD 230 per kg (atau USD 11,50 per 50 g). Selandia Baru juga mengekspor lobster batu ke Cina, dan harga ekspor dari Selandia Baru ke Cina pada tahun 2018 sekitar USD 85 per kg, bahkan dilaporkan harganya lebih tinggi dari itu. Kita juga bisa memasukan Vietnam, yang dalam waktu terakhir sangat agresif melihat pasar China yang terus meningkat atas produk hasil budidaya lobster dari negaranya.

Dinamika Perdagangan Lobster Dunia
Tahun 2018, Amerika Serikat merupakan negara pengimpor lobster terbesar di dunia dengan total mencapai 43.500 ton atau sekitar 36.5 persen dari total impor dunia yang mencapai 119.100 ribu ton. Diikuti oleh Kanada sebesar 18.700 ton dan China 16.500 ton. Dari sisi ekspor, Kanada merupakan “pemain” lobster terbesar di dunia saat ini, diikuti Amerika dan Australia. Volume ekspor lobster masing-masing negara tersebut mencapai 65.300 ton, 35.000 ton, dan 25.300 ton (FAO, 2019).

Dari statistik di atas kita maklum, bahwa perdagangan internasional lobster dikuasai oleh beberapa negara saja, terutama Kanada. Negara di kawasan Atlantik ini mendapat berkah dari kondisi alam dan posisi negaranya yang strategis dalam perdagangan lintas benua. Perdagangan lobster dari Kanada juga menjangkau China, yang merupakan pasar terbesar kedua setelah AS dengan total nilai ekspor mencapai US$1.16 miliar pada 2018 atau mencapai 17 persen dari total nilai ekspor seafood Kanada. Meskipun pasar AS tetap yang terbesar, tetapi ekspor lobster Kanada ke China mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Antara 1990-2018 nilai ekspor lobster Kanada ke AS hanya tumbuh 202 persen, sementara ekspor ke China tumbuh 33.000 persen pada periode yang sama.

Kanada memetik keuntungan dari tensi perang dagang yang meningkat antara AS dan China. Tatkala lobster menjadi target peningkatan tariff hingga 25 persen oleh pemerintah China, para nelayan dan industri lobster Amerika dibuat pusing. Mereka mengalami gangguan signifikan pangsa pasarnya di negara dengan penduduk terbesar di dunia. Akibatnya, ekspor lobster AS ke China turun 36.7 persen pada Juli-November 2018, dibandingkan kondisi Januari-Juni 2017 yang mengalami peningkatan hingga 124 persen. Tapi kelas atas China tidak pernah kehilangan santapan lezat dari lobster, mereka mencarinya dari negara lain, termasuk Kanada yang terbesar. Perang dagang yang digencarkan oleh Donald Trump memang berdampak besar bagi perekonomian global, tetapi di sisi lain, pada sektor-sektor yang lebih spesifik juga berdampak para pelaku usaha di negaranya sendiri. 

Selain mengambil untung dari perang dagang AS-China, Kanada juga menyadari betul bahwa perjanjian perdagangan internasional merupakan strategi diplomasi ekonomi yang jitu untuk meningkatkan nilai ekspor seafood mereka ke luar negeri. Kanada misalnya menikmati fasilitas penurunan tariff sebesar 8 persen atas ekspor lobster mereka ke Uni Eropa akibat perjanjian Kanada-Uni Eropa Comprehensive Economic and Trade Agreement (CETA). Begitu juga perjanjian perdagangan bebas Kanada-Korea Selatan (CKFTA) juga berkontribusi signifikan pada perdagangan Lobster mereka. Bahkan ekspor lobster mencapai 81% dari total nilai ekspor Kanada ke Korea Selatan pada 2017. Hal serupa terjadi pada negosiasi perdagangan dalam kerangka dan Transpacific Partnership Agreement (TPP) dan blok perdagangan di Amerika Latin melalui MERCOSUR, yang anggota utamanya meliputi Argentina, Brazil, Paraguay dan Uruguay.

Kondisi ini kontras dengan yang dialami Indonesia. Menurut catatan CORE Indonesia, kerjasama perdagangan yang dilakukan Indonesia belum optimal untuk mendorong pertumbuhan, meskipun rata-rata penurunan tarif Indonesia lebih rendah dibandingkan China dan Vietnam sejak 1997. Keterlibatan Indonesia yang super aktif dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas di tingkat regional maupun internasional, belum mampu menghasilkan manfaat optimal dari peningkatan nilai tambah produksi seafood dalam negeri untuk merajai pasar internasional yang semakin terbuka. Padahal pada tahun 2006 Indonesia bersama Brazil pernah menjadi negara produsen lobster nomor 5 terbesar di dunia, dengan total produksi sebanyak 4% setelah Kanada (34%), Amerika Serikat (29%), Australia (11%), Bahamas (5%). Kondisi ini terus mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 3% pada 2008.

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Kebijakan yang akan diambil pemerintah untuk merevisi Permen 56 tahun 2016 harus menjadi perhatian semua pihak. Dorongan untuk meningkatkan budidaya lobster harus menjadi solusi yang perlu disiapkan pemerintah. Budidaya lobster bukanlah perkara mudah, perlu dukungan yang kuat dari pemerintah, seperti penyiapan lahan, teknologi, permodalan, dan infrastruktur. Daya tarik budidaya lobster adalah karena melibatkan teknologi sederhana dan modal yang relatif kecil dan menghasilkan produk bernilai sangat tinggi.

Catatan pentingnya, skema tersebut di atas utamanya merupakan bentuk pemberdayaan ekonomi rakyat, bukan hanya memfasilitasi pemilik modal besar. Pemerintah seharusnya menaikkan kelas ekonomi pembudidaya lobster dengan memotivasi, mendampingi, dan menyediakan skema ekonomi kolektif yang sederhana dan mudah diakses oleh mereka. Hal ini penting untuk memutus mata rantai distribusi yang panjang serta tengkulak yang seringkali mempermainkan harga.

Struktur bisnis lobster dan usaha perikanan lainnya saat ini terdiri dari beragam pelaku usaha di dalamnya. Mulai dari nelayan atau pembudidaya skala kecil maupun perusahaan besar. Dibanding pelaku usaha besar, para nelayan dan pembudidaya kecil/tradisional mengalami masalah struktural yang lebih kompleks, mulai dari akses terhadap wilayah tangkap, alat produksi, bahan bakar, permodalan, teknologi, pengetahuan dan keahlian, hingga pemasaran. Akibatnya jelas sekali, distribusi manfaat ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan masih belum merata, dan cenderung dinikmati para pelaku usaha besar.

Tak heran, kemiskinan nyaris selalu menghiasi narasi tentang potret buram masyarakat pesisir, khususnya para nelayan. Riset LIPI menggunakan data BPS tahun 2011 juga mengungkapkan hal serupa, bahwa 63,47% dari penduduk miskin adalah komunitas pesisir dan terdapat nelayan miskin sekitar 7,87 juta orang yang tersebar di 10,600 desa pesisir dengan tingkat pendidikan yang rendah. Kondisi ini menjadi tantangan pemerintah untuk membuat skema usaha perikanan yang dapat menjawab masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sekaligus.

Sangat penting mendorong pemerintah tidak hanya melakukan kajian tentang perlu tidaknya dilanjutkan ekspor benih lobster. Tetapi paling pokok adalah mengurai karakteristik para aktor yang terlibat dalam usaha penangkapan, pembenihan, pembesaran, dan perdagangan lobster di Indonesia. Pemerintah harus memastikan bahwa keputusan yang akan diambil terutama ditujukan untuk perluasan pelaku dan penerima manfaat, khususnya para nelayan dan pembudiaya kecil. Pemerintah seringkali terjebak dalam hal ini. Atas nama efisiensi ekonomi, regulasi dan program pemerintah cenderung berpihak kepada sektor usaha skala besar. Bukannya mendorong agar yang kecil-kecil melakukan konsolidasi, diorganisasikan, sehingga mereka bisa mencapai suatu ukuran yang memungkinkan keuntungan usaha bisa dicapai.

Karena itu, perlu dipastikan lima hal ke depan. Pertama, penguatan organisasi ekonomi nelayan/pembudidaya. Koperasi atau jenis usaha kolektif lainnya perlu ditumbuhkan agar daya tawar semakin meningkat. Kedua, mendorong pengetahuan dan keahlian budidaya dan model usaha lobster yang berkelanjutan dan menjaga kelestarian lingkungan. Teknologi baru perlu diperkenalkan agar hasil usaha terus meningkat dengan dukungan keahlian yang memadai. Ketiga, politik anggaran dan kebijakan pembiayaan usaha yang murah dan pro pada pengembangan usaha nelayan dan pembudidaya kecil. Keempat, promosi dan fasilitasi perdagangan lobster di pasar domestik dan internasional. Pemerintah harus menggunakan kekuatan diplomasinya untuk membuka pasar produk lobster Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor yang masih sangat besar. Kelima, menyediakan infrastruktur penunjang seperti pelabuhan, bandara, jalan, dan sebagainya. Kelima hal ini menjadi prasayarat penting untuk menjadikan komoditas lobster Indonesia bisa berjaya di dalam dan luar negeri.

Scroll to Top