Dayah Edisi 1/ Oktober 2021
Siapakah Nelayan, apakah perempuan tidak berhak menyandang profesi nelayan?”. Pertanyaan ini mengawali topik pertama edisi perdana buletin Dayah. KPPI bermaksud mengoreksi narasi yang kurang tepat dan berpotensi melanggengkan kekerasan berbasis gender, yang menganggap nelayan hanyalah laki-laki dan kegiatannya hanya di tengah laut. Seperti yang disebut UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Dalam UU tersebut, “perempuan” hanya disebut satu kali di pasal 45. Menurut Marthin Hadiwinata pengacara LBH APTA, UU ini mendomestifikasi perempuan dan bertolak belakang dengan semangat dunia internasional dalam melindungi perempuan yang bekerja di sektor perikanan. Padahal perempuan berperan penting dalam sektor perikanan dan produksi pangan lainnya. Peran penting tersebut meliputi kegiatan menyiapkan, menangkap hingga pasca tangkap atau pasca panen. Tanpa peran perempuan, setiap tahapan usaha perikanan tidak akan dapat berjalan dengan baik.
Namun perempuan tidak mendapat pengakuan sebagai pelaku perikanan termasuk tidak mendapat perlindungan khusus atas hak-hak perempuan. Mengingat UU 7/2016 adalah komitmen politik dan hukum tinggi Negara, melalui buletin ini KPPI mengingatkan pengurus Negara untuk memposisikan perempuan nelayan sebagai subjek penting dalam sektor perikanan. Bagi KPPI, nelayan adalah sebuah profesi dengan daur pekerjaan yang melibatkan laki-laki dan perempuan mulai dari persiapan, penangkapan atau budidaya hingga pengolahan tangkap atau pengolahan hasil panen di wilayah pesisir dan perairan termasuk sungai, danau dan laut. Artinya, nelayan tak hanya pekerjaan menangkap ikan dan hanya dilakukan di tengah laut seperti tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Perempuan yang menangkap kerang, membuat ikan asin, hingga buruh penambak garam juga berprofesi sebagai nelayan.
Buruh pengupas kerang adalah nelayan.
Suntiah dan perempuan lainnya di Pesisir Tanjung Mas Semarang Jawa Tengah adalah buruh kupas kerang hijau. Mereka diupah sekitar Rp 5 ribu per kilogram. Rata-rata mereka menghabiskan 4-5 jam perhari menjadi buruh nelayan. Kerang hasil kupasan kemudian diolah menjadi olahan kerang dan sebagian di distribusikan ke pasar sebelum akhirnya sampai di atas meja makan kita. Perempuan pengupas kerang adalah perempuan nelayan yang memastikan protein rakyat Indonesia terpenuhi.
Pembuat ikan asin adalah nelayan.
Salah satu pekerjaan produktif perempuan nelayan adalah membuat ikan asin. Di pesisir Nambangan (Surabaya), Kampung Kurnia (Medan) , dan Branta Pesisir (Pamekasan) sekitar 95-97% pekerja ikan asin adalah perempuan, baik yang menjadi buruh ataupun mengolah ikan asin secara mandiri. Bagaimana cara mengasin ikan? Ikan hasil tangkapan dibersihkan, lantas digarami, langkah selanjutnya dibetet atau difilet dan dijemur di jerebeng (papan). Buruh Perempuan dibayar Rp 13 ribu per papan. Kegiatan ini dilakukan sejak pukul 2 sampai 9 pagi.
Petani Tambak Garam juga Nelayan.
Selain sudah menjadi kebutuhan pokok tiap rumah tangga di Indonesia, garam juga dibutuhkan industri. Sebanyak 84% produksi garam digunakan industri. Di pesisir Jerowaru Lombok Timur dan Dewantara Aceh Utara sekitar 60-65% petani tambak garam adalah perempuan. Para perempuan bekerja sebagai pengangkut garam, memasukan garam dalam sak dan perbaikan pematangan air garam.