Perempuan pesisir adalah kelompok marginal yang paling terkena dampak terhadap kurangnya akses sanitasi dan air bersih, selain kebutuhan kesehariannya dalam rumah tangga, perempuan juga lebih membutuhkan privasi saat buang air besar dan mandi dibandingkan laki-laki. Dalam sosial Masyarakat Perempuan juga dianggap sebagai pengguna utama, penyedia, pengelola air dan sanitasi rumah tangga. Namun realita yang ada keterjangkauan terhadap sanitasi air bersih masih sangat buruk.
Sebagaimana hasil survey yang dilakukan oleh KNTI, KPPI Bersama IPB dan koalisi ditemukan fasilitas sanitasi dan air bersih di beberapa daerah seperti Lombok timur, Tangerang, Bangkalan, Medan dan semarang belum ada layanan yang maksimal dari pemerintah setempat.
Ketersediaan air yang ada (PDAM) masih jauh dari kriteria air sehat, baik sehat untuk dikonsumsi, sehat untuk mandi , buang air kecil dan besar termasuk menstruasi bagi perempuan. Selain itu beban biaya yang ditangguhkan tidak berbasis pada kemampuan pendapatan ekonomi warga dimana secara umum rata-rata pendapatan mereka rendah. Kondisi ini sangat memberatkan bagi warga khusunya bagi kelompok marginal (perempuan nelayan miskin, janda, lansia dan anak perempuan). Akan tetapi karena air merupakan kebutuhan dasar dan tidak ada pilihan lain, memaksa perempuan untuk tetap menggunakan layanan air tersebut miskipun kadang mereka harus berhutang untuk bisa membayarnya. Namun ada beberapa kelompok marginal yang benar-benar tidak mampu secara ekonomi untuk akses air mereka menggunakan fasilitas umum seperti di masjid, dan musholla , ada juga numpang ke tetangga dengan membayar semampunya.
Ada juga daerah yg lebih memilih layanan air artetis dari pada menggunakan layanan PDAM. Layanan air artetis atau sumur bor milik warga yang dialirkan ke warga-warga dengan biaya yang terjangkau dan bisa dicicil. Sedangkan bagi warga yang mampu mereka membuat sumur bor sendiri. Untuk BAB secara umum di wilayah Masyarakat pesisir memiliki kesamaan iyaitu masih buang air besar ke laut dan Sungai baik laki-laki maupun perempuan, walaupun sebagian kecil di beberapa kampung sudah tersedia WC komunal/umum baik bantuan dari pemerintah, swadaya ataupun instansi terkait. Kecuali bagi daerah yang hidup dipemukiman atau rumah di atas air, di mana untuk buang air besar mereka langsung ke laut karena tidak ada lokasi darat yang bisa dibuat tempat MCK.
Sementara berdasarkan hasil penelitian di atas, Peran politik perempuan dalam kegiatan sosial atau kegiatan yang berdimensi publik termasuk didalamnya menyangkut pengambilan atau pembuatan kebijakan public masih relative rendah. Termasuk partisipasi di pemerintahan desa maupun di organisasi-organisasi sosial (laki-laki dan perempuan).
Misalnya di daerah Lombok dan bangkalan, dimana Kekuatan budaya patriarkhi kokohnya laki-laki dan cara pemahaman agama yang tekstual dan tradisional, menyebabkan perempuan sangat sulit menembus wilayah-wilayah strategis. Miski demikian dalam penelitian ini menemukan sejumlah indikator mulai longgarnya tekanan budaya dan struktur sosial yang patriarkhis walau diakui cukup lamban. Pihak kelurahan/desa sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah mengundang “menyapa” dan apalagi melibatkan perempuan dalam berbagai kegiatan yang bersifat publik/ forum-forum pengambilan kebijakan. Faktor lain adalah kemiskinan , kelas sosial, Pendidikan rendah , sangat memberikan pengaruh pada relasi-relasi kuasa yang ada, sehingga kerentanan terhadap tindakan-diskriminas memiliki peluang yang cukup besar bagi Perempuan dalam partisipasi pengambilan Keputusan/kebijakan.
Oleh karena itu, dalam masalah sanitasi dan ketersediaan air bersih di atas , penting didorong peran partisipasi perempuan dalam pengambilan Keputusan yang ditekankan pada inklusi “perempuan” yang berkaitan dengan intervensi sanitasi pada ruang-ruang pengambilan Keputusan (RT/RW, Musdus, Musrembangdes, Muskab.). sehingga ada kebijakan yang lebih akomodatif dan substantial mengenai pasokan air, transparansi dan pengelolaan intervensi sanitasi.
Selain pentingnya partisioasi perempuan juga penting Membangun kerjasama sama dengan
pemerintah terkait sanitasi dan air bersih.
oleh Rosinah, Ketua Umum Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia