Perempuan Nelayan dalam ‘Women and Girls at the Frontline of Climate Change’

Kamis, 24 November 2022 adalah hari yang bersejarah bagi Sri Wahyuni, perempuan petambak garam dari Jerowaru Lombok Timur. Ia adalah salah satu pembicara dalam seminar Internasional bertajuk ‘Women and Girls at the Frontline of Climate Change’ . Seminar yang diselenggarakan oleh Yayasan Relief Islami Indonesia (YRII) bertujuan untuk berbagi informasi terkait hasil kerja dan penelitian kepada seluruh pemangku kepentingan yang peduli terhadap isu gender dalam perubahan iklim. 

Seminar ini juga bertujuan untuk memetakan kerja-kerja pengendalian perubahan iklim dalam kerangka lima prioritas aksi LWPG (LIMA Work programme on Gender) di level Internasional, Nasional dan Komunitas serta memetakan tantangan dan harapan kedepan dalam menyongsong LWPG berakhir di tahun 2024. Di Indonesia, LWPG ini diterjemahkan ke dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) sebagai upaya pengendalian perubahan iklim sebagai berikut: “On gender issues, Indonesia has an advance policy relating gender equality and gender balance. Mapping gender issues in climate change in all development sector will be crucial in implementing the policy. Enhancing role of women in development and strengthening women’s capacity and leadership in climate change have been initiated and will be continued as part of the NDC implementation and LTS (long term low greenhouse gas emission strategy” (Enhanced Nationally Determined Contribution – Republic of Indonesia, 2022, p10).

YRII berharap dapat memfasilitasi forum pertukaran pengetahuan, keahlian, dan praktik terbaik yang berkaitan dengan pengarusutamaan gender dan GESI dalam perubahan iklim terutama pasca COP 27. Mereka juga memberikan kesempatan untuk berjejaring dan berkolaborasi antar pemangku kepentingan yang peduli terhadap isu gender dalam perubahan iklim. Serta bertujuan untuk advokasi peningkatan kesadaran dan keterlibatan isu-isu gender dalam kerja-kerja adaptasi perubahan iklim yang dapat mendorong tindakan nyata oleh aktor lokal, regional, dan internasional. 

Seminar skala Internasional yang diselenggarakan di Jakarta ini mengundang focal point IPCC di Indonesia sebagai kelompok kerja teknis UNFCCC yang mengimplementasikan LWPG di Indonesia dan Sri Wahyuni menjadi salah satu pembicara kunci dengan topik Peran Perempuan Petani Garam dalam Isu Perubahan Iklim.

Dalam paparannya Sri Wahyuni bercerita bahwa menjadi petani penggarap sawah garam adalah profesi turun temurun. Baginya menggarap ladang dan sawah garam merupakan pekerjaan yang berat karena semua harus dikerjakan sendiri. Terlebih, petani garam selalu bergantung pada musim. Saat musim hujan atau kemarau basah, bisa dipastikan hasil garam akan menurun. Ia juga menambahkan setelah adanya inovasi rumah garam prisma dari Yayasan Relief islami Indonesia menjadikan bertani garam tak lagi harus bergantung pada musim. Berkat rumah garam prisma, bertani garam kini tak harus bergantung pada musim. Pasalnya, dengan memberi atap plastik, kini tambak garamnya tak perlu bergantung pada musim sehingga bisa terus berproduksi garam. 

Dalam ulasannya bu Sri menyampaikan terkait Peran Perempuan dalam pertanian garam serta isu perubahan iklim yang terjadi. Menurutnya perempuan berpartisipasi aktif dalam rantai petani garam. Perempuan lah yang aktif dalam peningkatan kualitas garam dan pengembangan usaha garam (marketing). Mereka berperan dalam advokasi dan forum pengambilan keputusan di tingkat desa, kabupaten dan provinsi- menyuarakan hak dan aspirasi petani garam. Perempuan juga membagun ketahanan iklim lokal dan memastikan intervensi yang spesifik dan efektif sesuai dengan kebutuhan. Selain itu peningkatan kapasitas para petani garam terutama perempuan secara langsung telah berhasil membangun mekanisme ketahanan mereka sendiri dan memenuhi kebutuhan kelompok dengan biaya lebih rendah dan hasil produksi yang lebih banyak. Ia juga menekankan bahwa berjejaring dengan pemerintah nasional dan daerah, LSM, dan aktor lokal lainnya menjadi sarana promosi berkelanjutan. 

Dari paparan yang disampaikan membuktikan partisipasi aktif perempuan petani garam dalam membangun ketahanan iklim lokal dan memastikan intervensi yang spesifik dan efektif sesuai kebutuhan menjadi meningkat. 

Scroll to Top