Oleh Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI
Nusantara pernah mencapai kemegahan sebagai kesatuan maritim, sebagai kekuatan laut yang jaya. Mempertautkan komunikasi antarpulau dan antarbenua. Tidak saja sebagai titik singgung dalam persilangan perdagangan dan budaya antarbangsa, namun juga pusat persilangan pengetahuan (Latif, 2012).
Nusantara tidak hanya menjadi lokasi persinggahan, tetapi juga aktif dan penuh kepercayaan diri menyemai peradaban di belahan benua lain. Jejaknya bisa ditemukan di beberapa negara Afrika, India, juga China. Teknologi pelayaran dan perkapalan yang unggul, menjadikannya disegani dalam percaturan maritim dunia.
Pencapaian yang gemilang peradaban bahari Nusantara di masa lalu, juga sebagai faktor pembentuk nasionalisme yang kuat. Membangun kepercayaan diri bangsa Indonesia untuk merdeka dan mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Menjadi dasar penting perumusan “proklamasi” Ketiga dalam Deklarasi Djuanda 1957 tentang kedaulatan teritori Indonesia yang mencakup laut dan daratannya.
Namun, romantisme saja tidak cukup. Pola pikir (pattern of thought) pembangunan di masa kini mestilah didasarkan pada jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim yang bersumber dari perjalanan sejarahnya. “Kehidupan yang elok sekali dahulu kala di laut,” yang menjadi makna bahari, harus teraktualisasi dan terintegrasi dalam pembangunan Indonesia di dalam sebuah kesatuan kebijakan nasional yang berbasis pada kebijakan laut.
Di dalamnya tentu yang utama adalah penegasan yang kuat untuk menghadirkan rasa keadilan dan kemakmuran bersama bagi seluruh rakyat Indonesia. Sungai-sungai yang terintegrasi dengan laut menjadi penghubung kawasan pesisir dengan pedalaman. Manusia Indonesia yang hidup dan menggantungkan kehidupan di dalamnya harus mendapat nisbah utama dalam keseluruhan strategi pembangunan itu. Menjaga bukan menyingkirkan. Memuliakan, bukan menistakan. Melestarikan, bukan merusak. Mensejahterakan, bukan memiskinkan.