KNTI: Perjanjian WTO Tentang Subsidi Perikanan Merugikan Nelayan Kecil

Jakarta, 27 Februari 2024. Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO saat ini tengah diselenggarakan hingga 29 Februari 2024 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Salah satu isu yang dibahas mengenai subsidi perikanan. Dalam isu ini terdapat tiga pilar yang menjadi sentral pembahasan, yaitu Pilar 1 tentang IUU Fishing (Illegal Unreported Unregulated Fishing), Pilar 2 tentang Overfishstock, dan Pilar 3 tentang Over Capacity dan Over Fishing (OCOF). Untuk Pilar 1 dan 2 sudah disepakati pada Konferensi Tingkat Menteri ke-12 WTO di Jenewa, Swiss 2022 lalu. Dalam perjanjian tersebut, Fisheries Subsidies Agreement dianggap sebagai langkah maju yang besar bagi keberlanjutan laut dengan melarang subsidi perikanan yang merugikan.

Ada 8 (delapan) jenis subsidi perikanan yang dilarang oleh WTO, yaitu (1) subsidi untuk konstruksi, akuisisi, modernisasi, renovasi atau peningkatan kapal; (2) subsidi untuk pembelian mesin dan peralatan untuk kapal (termasuk alat tangkap dan mesin, mesin pengolahan ikan, teknologi pencarian ikan, refrigerator, atau mesin untuk menyortir atau membersihkan ikan); (3) subsidi untuk pembelian atau biaya bahan bakar, es, atau umpan; (4) subsidi untuk biaya personel, biaya sosial, atau asuransi; (5) dukungan pendapatan (income) kapal atau operator atau pekerja yang mereka pekerjakan [kecuali untuk subsidi yang diterapkan untuk tujuan subsisten selama penutupan musiman]; (6) dukungan harga ikan yang ditangkap; (7) subsidi untuk mendukung kegiatan di laut; dan (8) subsidi yang mencakup kerugian operasi kapal atau penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan.

Indonesia belum termasuk negara yang meratifikasi atau menyetujui perjanjian tersebut. Ketua Umum KNTI, Dani Setiawan menambahkan, “Indonesia memang seharusnya tidak meratifikasi perjanjian tersebut mengingat masih banyak jutaan nelayan kecil di Indonesia yang kondisinya berada pada garis kemiskinan ekstrem dan prasejahtera, apalagi jika subsidi tersebut dilarang dan dicabut”. Subsidi yang dilarang WTO jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Dalam Pasal 18 UU 7/2016 itu disebutkan bahwa “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyediakan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman”. Jika perjanjian WTO nantinya disahkan dan atau disepakati, maka pemerintah Indonesia tidak lagi memiliki kewenangan untuk memberikan dukungan atau subsidi dalam bentuk apapun kepada nelayan.

Dani menegaskan sebagai negara dengan pengaruh yang cukup besar, KNTI mendorong pemerintah Indonesia untuk menegaskan hak berdaulat negara untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati dan non-hayati di wilayah yurisdiksi sesuai Pasal 56 UNCLOS 1982 serta menegaskan pentingnya pengecualian perikanan skala kecil dari disiplin OCOF. Dani menyebutkan “penerapan prinsip common but differentiated responsibility (CBDR) seharusnya ditargetkan kepada industri perikanan besar dan dibatasi fleksibilitas pemberian subsidinya sebatas wilayah yurisdiksi nasional saja”. Selain itu, Dani juga mengingatkan agar Pemerintah Indonesia berhati-hati dengan kesepakatan-kesepakatan WTO yang mengarah pada agenda liberalisasi perdagangan yang dapat merugikan Indonesia.

Oleh karena itu, KNTI menuntut pemerintah Indonesia untuk:

  1. Tidak meratifikasi dua pilar perjanjian subsidi perikanan WTO tersebut
  2. Rancangan teks yang dibahas tidak mendefinisikan secara detail siapa nelayan yang sebagai subjek akan mendapatkan subsidi perikanan, artinya pemerintah harus jeli dan detail dalam mendefinisikan siapa nelayan sebagai subjek dan yang dikecualikan.
  3. Rancangan teks yang dibahas tidak menargetkan bagi kapal-kapal besar, padahal seharusnya mereka lah yang dimintai pertanggungjawaban dengan pemberian subsidi yang besar. Termasuk di dalamnya negara maju yang memberikan subsidi sangat besar di sektor perikanan
  4. Mendesak pemerintah memperhatikan kapal-kapal besar dan industri perikanan skala besar yang tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka yang melakukan IUU Fishing, Over Capacity dan Overfishing (OCOF)
  5. Dalam naskah subsidi perikanan yang ada saat ini masih memperbolehkan subsidi yang dilarang untuk terus berlanjut asalkan terdapat bukti bahwa stok ikan yang ditangkap dikelola secara berkelanjutan. Ini adalah klausul yang berat sebelah dan tidak adil karena akan menguntungkan negara-negara yang memiliki mekanisme pemantauan yang canggih, yaitu negara-negara maju, untuk terus mensubsidi armada mereka

Narahubung: Rois el Haq (Biro Media dan Publikasi DPP KNTI): 082111816785

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top