Keamanan Tenurial Bagi Nelayan Kecil dan Tradisional
Policy Brief Edisi V. Januari 2025
Ringkasan Eksekutif:
- Kebijakan perlindungan tenurial nelayan di Indonesia menghadapi krisis implementasi yang serius. Meski telah memiliki kerangka hukum yang komprehensif, seperti UU No. 7/2016 dan berbagai peraturan turunannya, praktik di lapangan menunjukkan ketidakefektifan dalam melindungi hak-hak nelayan kecil dan tradisional. Kondisi ini menciptakan kesenjangan besar antara regulasi dan realitas, di mana nelayan tetap menghadapi ketidakpastian dalam akses dan kontrol atas sumber daya laut yang menjadi tumpuan hidup mereka.
- Ancaman terhadap tenurial nelayan semakin kompleks dengan maraknya IUU Fishing dan praktik destructive fishing yang merusak ekosistem laut. Indonesia mengalami kerugian hingga $201 miliar antara 2013-2018 akibat aktivitas illegal fishing, sementara penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan terus mengancam keberlanjutan sumber daya laut. Situasi ini diperparah oleh lemahnya penegakan hukum dan tumpang tindih kepentingan di wilayah pesisir.
- Ketidakpastian wilayah pemukiman nelayan menciptakan kerentanan sosial-ekonomi yang akut. Data menunjukkan bahwa di beberapa wilayah seperti Tarakan, hanya 0,97% nelayan yang memiliki sertifikat hak atas tanah, sementara 99,03% lainnya hidup tanpa kepastian hukum atas tempat tinggal mereka. Kondisi ini membuat nelayan rentan terhadap penggusuran dan kehilangan akses terhadap sumber daya vital untuk mata pencaharian.
- Diperlukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola tenurial perikanan skala kecil melalui tiga aspek utama: (1) percepatan legalisasi hak atas tanah pemukiman nelayan dan pengakuan wilayah tangkap tradisional, (2) penguatan sistem perlindungan sosial dan asuransi yang responsif terhadap kebutuhan nelayan dalam menghadapi dampak perubahan iklim, dan (3) penegakan hukum yang tegas terhadap praktik perikanan ilegal serta pemberian kompensasi yang adil bagi nelayan yang terdampak proyek pembangunan di wilayah pesisir.
Pendahuluan
Tenurial mengacu pada hubungan sosial yang menentukan siapa yang dapat menggunakan (ruang dan) sumber daya tertentu, dalam kondisi apa, dan siapa yang mengontrol penggunaan sumber daya tersebut (FAO, 2016). Dalam sumber lain dituliskan bahwa Tenurial adalah hubungan yang dimiliki individu atau kelompok terhadap sumber daya di darat dan laut, baik yang diatur melalui hukum formal, hukum adat, maupun praktik tradisional (Courtney, C.A. & Jhaveri, N.J., 2017). Sedangkan, Keamanan tenurial adalah kondisi di mana pemegang hak merasa yakin bahwa hak-hak mereka diakui dan dilindungi oleh masyarakat, hukum, atau institusi lainnya. Keamanan ini tercapai melalui kepemilikan hak yang menyeluruh, ketahanan dan keberlanjutan hak tersebut, serta akses pemegang hak terhadap proses hukum yang adil dan kompensasi jika terjadi pelanggaran (Cohen Pj., et., al, 2024).
Secara khusus, Tenurial nelayan merujuk pada hubungan atau status hukum, baik formal maupun adat, yang meliputi hak kepemilikan, penggunaan, dan pengelolaan wilayah perairan dan pesisir oleh nelayan, serta tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan ekologi dan memastikan akses yang adil terhadap sumber daya (KNTI, 2023). Tenurial Nelayan terbagi atas dua unsur, pertama Tenurial darat (Land Tenure) bagi nelayan mencakup hak atas wilayah pemukiman, tempat penyimpanan alat tangkap, hingga area pengelolaan hasil tangkapan di darat, dan juga sumberdaya pesisir (seperti wilayah mangrove) yang berperan penting dalam keberlanjutan mata pencahariannya.
Kedua, tenurial laut (Marine Tenure) atau dibeberapa literature di sebut (Hak Ulayat Laut) menetapkan hak dan tanggung jawab di lingkungan laut dan pesisir—siapa yang dapat menggunakan sumber daya, dengan cara apa, berapa lama, dalam kondisi apa, serta aturan pemindahan hak (jika ada)—yang diatur melalui institusi tenurial lokal dalam kerangka kepemilikan bersama (Courtney & Jhaveri, 2017), Tenurial laut ini tidak hanya mengacu pada wilayah penangkapan (fishing ground), tetapi juga mengacu pada teknik-teknik penangkapan, peralatan yang digunakan, atau bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan (Nugroho et al., 2013).

(Foto: Dok. Media dan Publikasi DPP KNTI)
Dengan demikian, bagi nelayan dan masyarakat pesisir yang terlibat dalam produksi perikanan, pengolahan pasca panen dan pemasaran, pengkategorial tenurial akan merefleksikan apakah nelayan dapat mengakses daerah penangkapan ikan, menangkap ikan dan mengakses/menggunakan ruang/sumber daya lain yang memungkinkan nelayan untuk menggunakan hak sosial-budayanya, menjadi produktif, menghasilkan uang, mendapatkan makanan dan kebutuhan lainnya yang terkait dengan perikanan.
keamanan tenurial nelayan merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor-faktor eksternal dan nilai-nilai lokal yang mengatur pemanfaatan laut. Ekologi, demografi, mata pencaharian, regulasi politik-hukum, teknologi, dan distribusi pasar memengaruhi intensitas eksploitasi laut yang berpotensi menimbulkan konflik.

Konflik ini berdampak pada hak-hak tenurial nelayan, termasuk akses wilayah, tata kelola, perlindungan hukum, serta kepastian ekonomi dan sosial. Di sisi lain, nilai-nilai tenurial nelayan juga ditopang oleh kepentingan kolektif masyarakat untuk memanfaatkan dan menjaga ekosistem laut, produktivitas berkelanjutan dalam pemanfaatan pesisir, serta sistem kepercayaan, adat istiadat, dan budaya yang mendorong pelestarian laut. Semua elemen ini pada akhirnya menentukan kesejahteraan masyarakat nelayan.
Baca Selengkapnya Policy Brief Cadik Nelayan | Edisi V. Januari 2025 “Keamanan Tenurial Bagi Nelayan Kecil dan Tradisional” di link Berikut: