Riset Pemetaan Kerentanan Sosial-Ekonomi Nelayan Kecil Terkait Dampak Perubahan Iklim, Akses Terhadap Energi (BBM) dan Akses Wilayah Tangkap

Studi Kasus: Aceh Selatan (Aceh), Pemalang (Jawa Tengah), Pangkep (Sulawesi Selatan) dan Ambon (Maluku)

Ringkasan Eksekutif

Laporan penelitian bertajuk “Riset Pemetaan Kerentanan Sosial-Ekonomi Nelayan Kecil terkait Dampak Perubahan Iklim, Akses Terhadap Energi (BBM) dan Akses Wilayah Tangkap” merupakan upaya sinergis antara EcoNusa Foundation, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan FEB UI untuk memetakan dan mengenali sumber-sumber kerentanan sosial ekonomi nelayan. Penelitian ini mencakup pemetaan persoalan nelayan kecil di Kabupaten Aceh Selatan (Aceh), Kabupaten Pemalang (Jawa Tengah), Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Ambon (Maluku).

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer yang bersumber dari survei berbasis kuesioner dan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion) pada 236 responden nelayan di 4 wilayah. Terdapat 67 responden berasal dari Ambon, 70 responden dari Pemalang, 50 responden dari Aceh Selatan dan 49 dari Pangkep.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar nelayan kecil rentan terhadap tiga sumber ancaman, yaitu perubahan iklim (54%), kerentanan wilayah tangkap (60%) dan kerentanan akses BBM (77%). Bahkan, sebagian besar nelayan berada pada tingkat kerentanan yang parah. Hal ini disebabkan karena mereka menghadapi lebih dari satu sumber kerentanan atau yang disebut dengan kerentanan majemuk (multiple vulnerability).

Penelitian ini mengungkapkan sumber kerentanan terbesar berasal dari gangguan akses BBM, gangguan wilayah tangkap dan perubahan iklim. Secara berurutan, wilayah yang kerentanannya cukup tinggi adalah Kota Ambon, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Aceh Selatan. Nelayan yang rentan umumnya berpendidikan rendah, tidak punya sarana penangkapan (kapal), tidak memiliki pengetahuan zonasi, tidak mendapatkan informasi iklim, nelayan sebagai pekerjaan tunggal, berasal dari keluarga kurang mampu, tidak memiliki asuransi kesehatan, dan tidak punya Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA). Akumulasi kerentanan yang tinggi mengakibatkan nelayan menghadapi risiko yang sangat parah.

Rekomendasi penelitian ini adalah perlunya upaya sinergis dan kolaborasi dari semua pemangku kepentingan dan kebijakan untuk memperkuat dan meningkatkan ketahanan nelayan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim, gangguan wilayah tangkap dan akses BBM. Hal itu akan terpenuhi jika risiko bencana/gangguan dan sensitivitas turun, serta memperkuat dan meningkatkan kemampuan nelayan untuk beradaptasi dengan sederet persoalan yang mereka hadapi setiap saat.

Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan Laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang rilis pada 2018 silam, negara-negara dunia hanya memiliki waktu 10 tahun untuk mencegah terjadinya bencana ekstrem. Artinya Pemerintah Indonesia termasuk di dalamnya hanya memiliki sisa enam tahun hingga 2030 untuk mengantisipasi dampak dari perubahan iklim yang saat ini sedang dirasakan dampaknya di berbagai belahan dunia. Sebelum batas waktu itu datang, pemerintah harus bisa melakukan mitigasi dan adaptasi pada sektor kelautan dan perikanan yang akan terdampak. Lewat implementasi kebijakan yang tepat, adil dan berpihak pada nelayan kecil dan tradisional.

Adapun rekomendasi yang disampaikan dalam publikasi ini, antara lain:

  • Perlunya upaya untuk menurunkan risiko bencana/gangguan dengan cara melakukan mitigasi bencana, memfasilitasi keikutsertaan nelayan dalam program asuransi, meningkatkan literasi nelayan terkait informasi iklim dan pengetahuan zonasi, perlindungan di wilayah tangkap, memberikan bantuan renovasi ketinggian rumah wilayah yang terdampak banjir rob dan atau penurunan muka tanah, meningkatkan keterjangkauan BBM dengan menjaga pasokan dan distribusi, mempermudah syarat akses BBM subsidi serta memperluas jaringan distribusinya melalui SPBUN atau outlet resmi lainnya).
  • Perlunya upaya untuk menurunkan sensitivitas nelayan terhadap bencana/gangguan dengan cara memfasilitasi nelayan mendapatkan alternatif pekerjaan lain saat nelayan tidak melaut serta menyediakan ruang pendingin (cold storage) untuk menyimpan, menjaga kualitas dan daya jual hasil tangkapan.
  • Perlunya upaya meningkatkan kemampuan adaptif nelayan dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan nelayan, meningkatkan nilai tambah produk pertanian agar pendapatan nelayan meningkat, mendorong pemberdayaan ekonomi keluarga, memperluas jangkauan dan manfaat i kepemilikan identitas pelaku usaha perikanan dan kelautan (KUSUKA) agar nelayan memperoleh program pembinaan, pemberdayaan dan perlindungan dari pemerintah, memperluas dan menjaga keberlanjutan Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan dan revitalisasi sarana penangkapan (kapal dan alat tangkap).
  • Perlunya memantau secara berkala resiko kerentanan nelayan melalui indeks kerentanan iklim, indeks kerentanan wilayah tangkap dan indeks kerentanan BBM agar pemangku kebijakan dapat menyusun kebijakan yang tepat untuk menurunkan resiko-resiko tersebut sehingga perbaikan kesejahteraan nelayan di setiap wilayah dapat terwujud.
  • Pelindungan wilayah tangkap nelayan kecil untuk mereduksi gangguan. Mengadopsi konsep pengelolaan perikanan yang inklusif seperti OECM (Other Effective Conservation Measures) melindungi pelindungan wilayah tangkap nelayan yang dikelola melalui praktik tradisional dan komunal yang mendukung pemanfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan.

Baca Laporan Hasil Riset Pemetaan Kerentanan Sosial-Ekonomi Nelayan Kecil Terkait Dampak Perubahan Iklim, Akses Terhadap Energi (BBM) dan Akses Wilayah Tangkap selengkapnya :

Scroll to Top