Trawl Mengancam Kehidupan Perempuan Pesisir

Nice, Prancis – 10 Juni 2025, Dalam kesempatan diskusi Koalisi Transform Bottom Trawling (TBT) yang dilangsungkan di sela-sela United Nations Ocean Conference (UNOC) 2025 di Nice, Prancis, suara perempuan pesisir Indonesia menggema dengan tegas. Mereka menolak praktik trawl yang merusak ekosistem laut dan memperparah ketidakadilan sosial di komunitas pesisir.

Nilawati, Ketua Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) Kota Medan, menyampaikan bahwa trawl semakin marak di wilayah Sumatera, digunakan oleh kapal dengan berbagai ukuran, mulai dari 10 GT hingga 30 GT.

“Trawl menangkap semua ikan dari induk hingga bibit. Tidak menyisakan ruang regenerasi ekosistem laut. Belum lagi bentrok dengan nelayan tradisional yang sering terjadi. Alat tangkap nelayan sering hilang karena trawl masuk ke wilayah tangkap tradisional,” ungkap Nila.

Ia menambahkan, permasalahan di wilayah tangkap ini kerap memicu konflik horizontal. Sementara di sisi lain, nelayan kecil memiliki keterbatasan untuk melaut lebih jauh. Akibatnya, mereka menjadi pihak yang paling terdampak.

“Saat ini, karena trawl, ikan, udang, dan kerang sudah mulai sulit ditemukan. Padahal itu kebutuhan pokok kami. Nelayan kecil pulang melaut dengan kerugian. BBM mahal, perbekalan mahal, tapi hasil tangkapan tak sebanding,” tambahnya.

Wakil Sekjen KNTI, Hasmia, menambahkan bahwa dampak trawl tidak hanya dirasakan oleh nelayan pria, tetapi secara signifikan menekan perempuan pesisir.

“Trawl menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan nelayan, yang artinya pendapatan keluarga menurun. Karena perempuan yang mengatur keuangan rumah tangga, maka mereka yang paling dulu merasakan dampaknya,” jelas Hasmia.

Ketika pendapatan suami nelayan tidak mencukupi kebutuhan hidup, perempuan pesisir mengambil alih tanggung jawab ekonomi dengan mencari pekerjaan tambahan. “Biasanya mereka bekerja sebagai buruh cuci, pengupas kerang, pedagang keliling, atau jika terpaksa—berutang,” ungkapnya.

Hasmia menegaskan bahwa hal ini menciptakan beban ganda bagi perempuan. Mereka tetap mengurus pekerjaan domestik sambil mencari penghasilan tambahan. Bahkan dalam kondisi tertentu, tekanan ekonomi bisa memicu kekerasan dalam rumah tangga.

“Perempuan yang bekerja langsung di sektor kelautan juga terancam kehilangan mata pencaharian karena kerusakan ekosistem laut. Maka penting bagi kita semua untuk melibatkan perempuan pesisir dalam proses pengambilan keputusan,” katanya.

Hasmia berharap konferensi UNOC ke-3 ini menjadi langkah awal meningkatnya partisipasi perempuan nelayan dalam forum-forum internasional.

“Dengan partisipasi aktif perempuan, suara kami lebih kuat terdengar dan bisa menekan pemerintah agar hadir melindungi perempuan nelayan yang terdampak kebijakan atau praktik yang tidak berkeadilan seperti trawl ini,” tutupnya.

Penulis: Miftah, Nila, dan Hasmia

Narahubung:
Miftahul khausar (+62 812-4245-7998)
Hasmia Djalil (+62 812-9689-8674)

Scroll to Top