Trawl Masih Mengancam Kehidupan Nelayan

Nice, Prancis – 10 Juni 2025, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menghadiri kegiatan United Nations Ocean Conference (UNOC) yang diselenggarakan di Nice, Prancis, pada tanggal 9–13 Juni 2025. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, KNTI yang tergabung dalam Koalisi Transform Bottom Trawling (TBT) menyelenggarakan diskusi tentang praktik penggunaan trawl di Indonesia, yang berlangsung pada Selasa, 10 Juni 2025.

Dalam forum itu, Miftahul Khausar dari Biro Luar Negeri KNTI menyampaikan bahwa UNOC merupakan forum strategis bagi nelayan tradisional untuk menyuarakan kepentingannya di tingkat global.

“Ini adalah momen penting untuk mendorong perlindungan wilayah tangkap nelayan kecil, penindakan terhadap alat tangkap merusak seperti trawl dan modifikasinya, serta pengakuan atas peran penting nelayan kecil dalam menjaga keberlanjutan laut,” kata Miftah.

Kehadiran KNTI dalam forum internasional ini bertujuan untuk menyampaikan langsung kondisi nelayan kecil di Indonesia yang terancam oleh praktik trawl yang masih berlangsung secara masif, terutama di wilayah tangkap nelayan kecil di bawah 12 mil laut.

Ketua Dewan Pengurus Daerah KNTI Kabupaten Labuhanbatu Utara, Syahril Paranginangin atau lebih dikenal dengan nama Ulong, mengungkapkan bahwa trawl atau pukat hela berkantong hingga saat ini masih bebas beroperasi di wilayah tangkap nelayan kecil.

“Dampaknya, kami nelayan kecil dan tradisional terancam penghasilannya. Keberlanjutan ekonomi keluarga nelayan benar-benar dalam kondisi kritis. Kami harus memilih antara melawan dengan resiko besar atau pasrah dan membiarkan kebutuhan hidup kami tidak terpenuhi,” ujar Ulong.

Ia menambahkan, bentuk perlawanan nelayan terhadap praktik trawl sering kali menghadapi tekanan dan intimidasi. Oleh karena itu, Ulong menegaskan pentingnya keterlibatan pemerintah dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum secara tegas terhadap praktik penggunaan trawl.

“Harapan kami ke pemerintah, agar ada pengawasan yang serius. Bila perlu, trawl atau pukat tarik dengan dua kapal dinonaktifkan atau diproses secara hukum, karena sudah merampas ruang hidup kami,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), Hendra Wiguna, menyoroti dampak lebih luas dari trawl terhadap generasi muda pesisir. Ia menyampaikan bahwa kehadiran trawl bukan hanya membuat nelayan jatuh miskin, tetapi juga mempengaruhi akses pendidikan anak-anak mereka.

“Dahulu, nenek moyang kami hidup berkecukupan dari laut. Sekarang, keluarga nelayan berada dalam kesulitan ekonomi. Begitulah kira-kira dampak trawl. Tidak heran jika 80% nelayan kecil hanya mengenyam pendidikan di bawah jenjang SMP,” terang Hendra.

Menurut Hendra, meningkatnya biaya pendidikan ditambah menurunnya pendapatan membuat pemuda pesisir kesulitan untuk melanjutkan sekolah. Bahkan, tidak sedikit yang akhirnya merantau ke kota dengan keterampilan terbatas.

“Ini tentu berisiko. Tanpa keterampilan, mereka tidak memiliki daya saing. Selain itu, semakin sedikit pemuda yang tertarik menjadi nelayan karena profesi ini tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidup. Ini adalah ancaman bagi keberlanjutan pangan bangsa,” ujar Hendra mengakhiri.

Penulis: Miftah, Ulong, dan Hendra

Narahubung:
Miftahul khausar (+62 812-4245-7998)
Hendra Wiguna (+62 856-0022-3661)

Scroll to Top