Simpang Jalan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Indonesia

Oleh : Niko Amrullah, Ketua Bidang Kebijakan DPP KNTI | #HariMangroveSedunia

Hampir seperempat luas mangrove dunia berada di Indonesia. Kementerian Kehutanan menyebut pada tahun 2021 kita memiliki 3,36 juta Hektare (ha) hutan mangrove, atau sekitar 20% dari total mangrove dunia. Teranyar, tahun 2024 jumlah tersebut bertambah menjadi 3,44 juta ha. Mangrove memainkan peran vital dalam ekosistem pesisir diantaranya sebagai penyerap karbon, penahan abrasi pantai, nursery dan spawning ground ikan, serta sumber ekonomi bagi masyarakat pesisir.

Target ambisius pemerintah era Presiden Jokowi seperti rehabilitasi 600 ribu hektare mangrove hingga 2024 melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) tak kunjung memiliki hasil memuaskan. Hingga Desember 2024, tepat selesai masa kerjanya, hanya berhasil merehabilitasi mangrove seluas 84 ribu hektare atau sekitar 14 persen. Alih alih diperbaiki, kini target tersebut di berada di simpang jalan : BRGM tak laku di era Presiden Prabowo Subianto.

Konservasi dan rehabilitasi masih menjadi retorika yang menyisakan banyak catatan. Pendekatan yang lebih berorientasi proyek dan birokratis sering kali menafikan keterlibatan masyarakat lokal, serta mengabaikan dinamika ekonomi-politik yang mendasari kerusakan mangrove itu sendiri.

Fakta dan Data
Dilansir dari laporan Global Mangrove Watch dan data KLHK, luasan mangrove Indonesia mengalami pasang surut. Pemetaan awal di tahun 1996 mencapai 4,2 juta ha yang bersumber dari FAO. Tahun 2000 mengalami penurunan menjadi 3,8 juta ha dengan salah satu penyebab utama adalah konversi menjadi areal tambak. Sepuluh tahun kemudian, tahun 2010, menurun lagi menjadi 3,5 juta ha yang dikarenakan alih fungsi lahan menjadi tambak dan pembangunan. Tahun 2021, pemetaan mangrove nasional (PMN) oleh KLHK menghasilkan luasan mangrove 3,36 juta ha. Teranyar di tahun 2024 hasil PMN diperoleh luasan 3,44 juta ha. Terdapat sedikit penambahan sebagai hasil rehabilitasi meskipun jauh dibandingkan dengan laju deforestasinya.

Penurunan luas mangrove terutama disebabkan oleh konversi lahan menjadi tambak udang, pembangunan kawasan industri dan pelabuhan, serta perluasan pemukiman. Ironisnya, banyak dari kegiatan ini justru didorong oleh proyek-proyek strategis nasional (PSN) dengan regulasi kelas wahid.

Rehabilitasi mangrove yang dicanangkan BRGM dan KLHK seringkali bersifat top-down dan terputus dari sistem sosial-ekonomi lokal. Penanaman ulang mangrove dilakukan secara massal, menggunakan spesies yang tidak sesuai, tanpa kajian ekologis lokal, dan minim pendampingan pasca-tanam. Banyak kasus di mana mangrove yang ditanam tidak bertahan lebih dari dua musim karena kondisi hidrologis tidak mendukung atau terjadi konflik lahan.

Lebih jauh, pendekatan proyek ini gagal mengatasi akar masalah degradasi mangrove, yaitu ketimpangan akses dan kepemilikan lahan, lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku konversi ilegal, dan minimnya insentif ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat lokal yang menjaga mangrove.

Kesenjangan Tata Kelola
UU Cipta Kerja dan turunannya justru mempermudah pemberian izin bagi aktivitas ekonomi yang berdampak pada ekosistem pesisir. Misalnya, penghapusan AMDAL bagi kegiatan tambak berskala tertentu membuka peluang eksploitasi tanpa pengawasan. Sementara itu, inisiatif masyarakat seperti hutan adat pesisir atau mangrove community-based management tidak mendapat perlindungan hukum yang kuat.

Ketiadaan skema insentif seperti Payment for Ecosystem Services (PES) atau blue carbon credit untuk masyarakat yang menjaga mangrove menunjukkan absennya perspektif ekonomi lingkungan dalam kebijakan publik. Padahal, valuasi ekonomi terhadap jasa ekosistem mangrove sangat besar. Studi World Bank (2022) menyebut secara rata-rata, serangkaian jasa ekosistem ini menghasilkan manfaat sebesar USD 15.000/ha/ tahun, tetapi di beberapa wilayah, manfaatnya bisa mencapai hampir USD 50.000/ha/tahun.

Arah Kebijakan
Hari mangrove sedunia belum diwarnai dengan sejumlah kejutan istimewa bagi perbaikan kondisi ekosistem mangrove. Bilamana pembubaran BRGM sebagai tindak lanjut dari nir efektifnya lembaga tersebut, maka menjadi keharusan nahkoda terpusat pada Kementerian Kehutanan dan juga Kementerian Kelautan dan Perikanan pada sebagian porsinya. Setidaknya 4 aspek perlu mendapat perhatian sebagai arah kebijakan yang baru bagi pengelolaan ekosistem mangrove yaitu pendekatan proyek, tingkat partisipasi masyarakat, transparansi data, dan fiskal.

Pertama, pendekatan proyek. Pemerintah perlu menggeser pendekatan dari proyek tanam semata ke perbaikan tata kelola. Rehabilitasi seharusnya berbasis wilayah (landscape-based), melibatkan masyarakat, dan mempertimbangkan kondisi ekologis-lokal.

Kedua, pemberdayaan masyarakat lokal. Perlunya memberikan legalitas akses kelola kepada masyarakat adat dan lokal melalui skema hutan adat atau kemitraan konservasi, disertai dukungan teknis dan insentif ekonomi berbasis jasa ekosistem.

Ketiga, transparansi dan akuntabilitas data. Monitoring mangrove harus dilakukan secara terbuka dengan melibatkan komunitas ilmiah dan warga. Data spasial dan anggaran perlu dipublikasikan secara berkala.

Keempat, integrasi ekonomi biru dalam kebijakan fiskal. Pemerintah bisa mendorong mekanisme fiskal berbasis karbon biru, termasuk menjajaki skema carbon trading untuk mangrove yang dikelola masyarakat.

Pengelolaan ekosistem mangrove seharusnya tidak berhenti pada seremonial penanaman atau klaim angka rehabilitasi. Dibutuhkan transformasi tata kelola yang inklusif, berbasis data, dan menjawab kebutuhan ekonomi lokal secara berkelanjutan. Indonesia, sebagai negara dengan hutan mangrove terluas, memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk memimpin praktik terbaik dunia, bukan sekadar menjadi panggung bagi proyek konservasi yang elitis.

Scroll to Top