Maraknya Penerbitan Hak Atas Tanah di Perairan Laut, KNTI: Tenurial Nelayan Kecil Terancam

Siaran Pers KNTI, Jakarta (07/05/2025) – Dalam kurun waktu tiga tahun (2022-2025), terjadi peningkatan signifikan terhadap penerbitan sertifikat Hak Atas Tanah di perairan laut sebesar 9.808 bidang tanah dari dari 8.277 pada tahun 2022 menjadi 18.085 pada tahun 2025, dengan tipe yang beragam mulai dari Izin Hak Guna, Hak Milik, Hak Pakai, bahkan tanah kosong. Menanggapi hal ini, Ketua Bidang Kebijakan Publik Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Niko Amrullah menilai hal tersebut mengancam tenurial nelayan kecil.

“ Penerbitan Hak Atas Tanah di perairan laut dalam 3 tahun (2022-2025) cukup signifikan, hal itu mengancam tenurial nelayan kecil dan dapat merampas ruang hidup mereka, ungkap Niko di Jakarta, Rabu (07/05).

Niko menjelaskan kewenangan untuk menerbitkan sertifikat masih di Kementerian ATR/BPN, namun potensi berpindah wewenang ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sangat dimungkinkan dengan mempertimbangkan signifikannya laju penerbitan sertifikat Hak Atas Tanah di perairan laut oleh Kementerian ATR/BPN dan juga tingginya kontribusi PKKPRL terhadap PNBP dari KKP.

“ Peningkatannya signifikan, inilah yang memungkinkan KKP tidak mau kehilangan peluang terhadap potensi PNBP dari Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Selain itu, KKP juga terus mengejar peningkatan PNBP khususnya dari penataan ruang laut.

Meski demikian, lanjut Niko, Kementerian apapun yang memiliki wewenang, wajib memperhatikan hak tenurial nelayan kecil, jangan hanya menggenjot target PNBP dari penerbitan PKKPRL ke depannya.

“ Jangan hanya genjot target PNBP saja, regulasi tidak boleh dilanggar dan hak tenurial nelayan kecil wajib juga dilindungi. Mereka adalah kelompok yang rentan dan terpinggirkan, serta secara langsung bergantung pada akses terhadap sumber daya Laut dan tanah, seharusnya pemerintah juga tegas untuk membatalkan seluruh sertifikat hak atas tanah di laut itu, karena pemberian izin hak atas tanah di perairan laut tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku “ terang Niko.

Pemberian hak atas tanah sesungguhnya juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIl/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) menyatakan bahwa pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (mekanisme hak) mengurangi penguasaan negara atas Pengelolaan WP3K dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

” Dari sisi nelayan, hal ini jelas akan mengganggu akses dan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir. “ kata dia.

Sebagai informasi, KKP melakukan overlay antara RZWP3K / RTRW Integrasi dengan menggunakan aplikasi BHUMI Kementerian ATR/BPN, ditemukan bidang tanah yang berada di Perairan Laut. Tahun 2022, ditemukan sejumlah 8.277 bidang tanah yang terbit di perairan laut dengan tipe hak: Hak Guna Bangunan, Hak Guna Lahan, Hak Guna Usaha, Hak Milik, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Wakaf, dan kosong. Dengan tipe hak yang sama, jumlah tersebut meningkat di tahun 2025, sejumlah 18.085 bidang tanah yang terbit di perairan laut.

Informasi selanjutnya, dapat menghubungi
Niko Amrullah,
Ketua Bidang Kebijakan Publik KNTI
Hp: ‪+62 812 9787 5162

Scroll to Top